Beranda > Tak Berkategori > TELA’AH KRITIS TERHADAP BUKU FIQIH LINTAS AGAMA

TELA’AH KRITIS TERHADAP BUKU FIQIH LINTAS AGAMA

Oleh : KH. Abdullah Syamsul Arifin

GAGASAN-GAGASAN YANG DIUSUNG

Buku Fiqih Lintas Agama memulai bahasannya dengan mengutarakan common term (kalīmatin sawā’) yang hampir pasti disetujui bersama oleh para pemikir Islam masa kini. Pada ulasannya disebutkan tentang pentingnya membaca ulang fiqih klasik secara kritis dengan cara meletakkannya kembali sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu pula. Karenanya, tidak mengherankan apabila pada bagian ini dapat dinukil tulisan-tulisan ulama yang terkemuka dalam bidang fiqih seperti Imam Syafi’i, Ibnu Taymiyah, al-Shatibī, Yusūf Qardāwi dan lain-lain untuk menguatkan argumen mereka. Pada level ini, gagasan buku lintas agama masih bersifat teoritis dan belum mendapatkan bentuk nyatanya. Namun, pada bahasan selanjutnya berbagai gagasan kontroversial diusung guna kepentingan membela posisi umat agama lain yang selama ini dinilai diabaikan dan dinomorduakan dalam fiqih klasik. Pada level ini, tidak satupun ulama fiqih yang disebutkan sebelumnya akan setuju dengan kesimpulan-kesimpulan buku Fiqih Lintas Agama. Pemikiran mereka hanya diambil sepotong-sepotong kemudian diolah dengan ide-ide pluralisme agama. Sebagai contoh, konsep maqāsid al-shari’ah yang digagas oleh al-Shatibī justru digunakan untuk mendekonstruksi ajaran Islam yang sudah jelas dan bahkan yang menjadi konsensus ulama, seperti arti terma Islam, kafir dan lain-lain. Alasan dekonstruksi tersebut adalah karena ajaran yang bersangkutan dianggap sudah tidak cocok lagi dengan maqāsid al-shari’ah, yaitu “kemaslahatan”. Hifd al-dīn, sebagai salah satu kemaslahatan primer tidak lagi dimaknai dengan penjagaan terhadap agama (Islam) dari segala kerusakan, tapi diartikan sebagai penghargaan terhadap keberagamaan orang lain atau sebagai hak kebebasan beragama. Makna seperti ini tentu mempunyai konsekuensi yang tidak kecil; hubungannya dengan hukum berdakwah kepada non-Muslim, hukum truth claim dalam beragama, hukum murtad, hukum nikah dan waris lintas agama dan lain sebagainya. Penulis menggolongkan gagasan-gagasan buku Fiqih Lintas Agama dalam dua kategori besar, yaitu: gagasan-gagasan yang bersifat teologis dan gagasan-gagasan yang bersifat fiqih terapan. Gagasan teologis berupa teori-teori teologis yang berfungsi sebagai pijakan bagi terciptanya kesetaraan antar agama dalam fiqih yang membahas tentang hal yang berhubungan dengan umat agama lain.

Adapun gagasan yang bersifat fiqih terapan berupa bentuk nyata hukum fiqih yang telah didekonstruksi dan direkonstruksi sesuai dengan gagasan kesetaraan antar agama. Berikut ini adalah pemaparan selengkapnya tentang berbagai gagasan tersebut. A. Pijakan Teologis Fiqih Lintas Agama 1. Tentang dīn, shir’ah, minhaj, mansak dan wijhah dalam al-Qur’an Kata dīn (agama), shir’ah (syariat/jalan/aturan), minhaj (sunnah/kebiasaan/jalan yang terang), mansak (kebiasaan/aturan tertentu) dan wijhah (titik orientasi) telah dikenal luas oleh masyarakat Islam karena telah disebutkan dalam al-Qur’an.

Allah berfirman:

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا يُنَازِعُنَّكَ فِي الأمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.

…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ…

Kami berikan shir’ah dan minhaj bagi masing-masing umat. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُجَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Bagi masing-masing mempunyai tujuan, kesanalah Ia mengarahkannya; maka berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Di mana pun kamu berada, Allah akan menghimpun kamu karena Allah Maha Kuasa atas segalanya.

Yang berbeda dari isi buku Fiqih Lintas Agama dengan pemahaman yang selama ini beredar luas tentang arti kata-kata tersebut adalah cara pandangnya dan cara menyusunnya hingga menjadi suatu kesimpulan tersendiri; Menurut alur logika buku tersebut, inti dari berbagai agama (dīn) adalah sama (tauhid), tetapi kepada setiap golongan Allah menetapkan jalan/aturan (shir’ah) serta cara (minhaj) yang berbeda-beda yang tidak perlu dipersoalkan. Kepada tiap golongan agama tersebut, Allah juga telah menetapkan upacara-upacara keagamaan (mansak| jamak: manāsik) tersendiri yang harus mereka laksanakan dan juga titik orientasi (wijhah) tersendiri pula, selayaknya Ka’bah bagi Muslimin. Yang terpenting dari semuanya adalah berlomba-lomba menuju berbagai kebaikan. Kesimpulannya, setiap agama pada hakikatnya menyerukan hal yang sama sehingga bisa disebut sebagai satu kesatuan (ummatan wāhidah). Adapun perbedaan-perbedaan mengenai berbagai aturan dan cara pelaksanaannya adalah perbedaan yang telah “direstui” Allah sesuai dengan sunnah-Nya agar masing-masing golongan dapat berlomba menjadi yang terbaik. Pada akhirnya, setiap golongan tersebut semuanya akan kembali kepada Allah.

2. Tentang titik temu antar agama (tentang arti Islām dan ajaran hanīfiyah Nabi Ibrahim) Bila pada poin bahasan sebelumnya telah disinggung beberapa istilah dalam agama Islam yang dilihat dengan cara pandang serba inklusif, maka dalam poin bahasan ini akan dibahas lebih jauh tentang arti Islam serta hubungannya dengan ajaran hanīfiyah menurut versi buku Fiqih Lintas Agama. Kata Islām yang terdapat dalam al-Qur’an tidak dianggap sebagai nama bagi suatu agama tertentu, tapi sebagai kata kerja, yang mempunyai arti: tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan arti general ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa semua agama pada dasarnya adalah agama Islam tanpa perlu memandang berbagai perbedaan yang ada, bahkan yang bersifat fundamental sekaligus.

Allah berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Dalam perspektif buku Fiqih Lintas Agama, kedua ayat tersebut berarti perintah untuk memeluk “agama kepasrahan kepada Tuhan”, yakni agama yang meyakini adanya Tuhan dan memerintahkan para penganutnya untuk tunduk dan pasrah kepada-Nya. Ayat tersebut juga melarang atheisme dan penyembahan berhala. Seluruh agama yang telah mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan dapat masuk ke dalam kriteria Islam dalam ayat tersebut tanpa mempedulikan nama Tuhan dan “syari’ah” atau “minhaj” masing-masing agama itu. Selain mengartikan Islam dengan arti agama ketundukan dan kepasrahan, buku Fiqih Lintas Agama juga memberikan arti baru bagi ajaran hanīfiyah Nabi Ibrahim yang dalam beberapa tempat disebut dengan istilah “agama kehanifan”.

Istilah hanīfiyah berasal dari kata hanīfā yang disebut sepuluh kali dalam al-Qur’an . Salah satunya adalah ayat berikut:

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.

أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَة

Agama yang paling disukai Allah adalah yang lurus serta mudah/lapang.

عن بن عباس قال قيل لرسول الله صلى الله عليه و سلم : أي الأديان أحب إلى الله قال الحنيفية السمحة

Dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah ditanya: “Agama apakah yang paling disukai Allah?”. Beliau menjawab: “yang lurus serta lapang”. Dalam perspektif buku Fiqih Lintas Agama, kata hanīf menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan tauhid. Yang dimaksud dengan murni, suci dan benar di sini adalah ajaran yang belum tertunduk oleh ruang dan waktu (sejarah) yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat sektarian dan komunalistik (bersemangat golongan) seperti yang dalam al-Qur’an disimbolkan dengan “Yahudi” dan “Nasrani”. Jadi, menurut buku Fiqih Lintas Agama, jika dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Ibrahim bukanlah Yahudi atau Kristen, maka maksudnya ialah bahwa dia tidaklah termasuk mereka yang pandangan keagamaannya sektarian dan komunal, dengan klaim-klaim eksklusif sebagai pemegang satu-satunya kebenaran. Lebih lanjut ditulis bahwa gaya keagamaan kaum Yahudi dan Kristen pada masa nabi itu dijadikan sebagai model sektarianisme dan komunalisme, suatu hal yang sesungguhnya dapat juga berlaku pada sebagian pemeluk agama-agama lain, termasuk kaum Muslim sendiri. Kaum Yahudi dan Kristen dijadikan model sektarianisme dan komunalisme dalam al-Qur’an karena kecenderungan sikap mereka pada zaman Nabi Muhammad yang menunjukkan hal itu. Mereka terbukti menolak Nabi dan sebagian dari mereka menilai Nabi dan para pengikut beliau sebagai golongan yang bakal celaka (tidak akan masuk surga). Dari alur pikir seperti di atas kemudian ditarik kesimpulan bahwa agama yang benar, yang akan membawa keselamatan adalah: agama yang “generik”, yang bebas dari komunalisme dan sektarianisme, suatu agama yang berintikan sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan perbuatan baik kepada sesama manusia. Agama “generik” ini tidak menyoal sebutan khusus untuk agama atau bahkan sebutan khusus untuk Tuhan semisal Allah, Yahwe, El, Il, Khoda, God, Gott, Deva, Deo, Dieu, Theo dan sebagainya tetapi yang penting adalah sebutan Tuhan Yang Maha Esa serta tidak menyoal perbedaan bentuk ritual khusus masing-masing ajaran melainkan hanya dianggap sebagai perbedaan sir’ah dan minhaj saja. Lawan dari “agama generik” ini dalam buku Fiqih Lintas Agama disebut sebagai “agama kultus”, yaitu seluruh agama yang bersifat sektarian dan komunalistik serta mengklaim bahwa hanya mereka yang benar dan hanya merekalah yang diterima Tuhan sehingga berhak dibalas dengan surga. Agama kultus ini bisa berupa ajaran kepercayaan sekuler seperti kaum Komunis, Nazi, Chauvinist, People’s Temple Branch Davidian dan lain-lain atau ajaran yang berasaskan pandangan keagamaan seperti Buddhisme, Hinduisme, Kristen, Shintoisme dan sebagainya, tak terkecuali Islam. 3. Tentang Ahli Kitab Bahasan Ahli Kitab merupakan salah satu point terpenting dalam kajian buku Fiqih Lintas Agama. Dari bahasan ini ditarik kesimpulan tentang toleransi al-Qur’an terhadap non-Muslim yang begitu besar dan hukum pernikahan antara Muslim dan non-Muslim serta hukum waris antara keduanya. Term ahli kitab secara singkat biasa dikenal dengan pemeluk agama Yahudi dan Nasrani, namun dalam buku Fiqih Lintas Agama sebagaimana pola bahasan lainnya diambil arti yang paling general, yaitu: setiap agama yang mempunyai kitab suci, baik itu agama samāwī atau bukan. Argumen mereka berdasarkan pendapat Rasyid Ridha dalam tafsirnya terhadap al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 5 berikut: الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Secara ringkas Rasyid Ridha menegaskan bahwa yang dimaksud ahli kitab bukan hanya Yahudi dan Nasrani, tetapi juga agama lain yang mempunyai kitab seperti Majusi, Sābi’īn, Hindu, Budha dan Khonghucu. Adapun al-Qur’an yang hanya menyebutkan Majusi dan Sābi’īn saja tidak berarti bahwa selain keduanya bukan ahli kitab. Penyebutan keduanya saja dikarenakan masyarakat Arab hanya mengenal Majusi dan Sābi’īn. Pendapat ini berdasarkan hadith berikut: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ ذَكَرَ الْمَجُوسَ فَقَالَ مَا أَدْرِى كَيْفَ أَصْنَعُ فِى أَمْرِهِمْ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ » Sesungguhnya Umar bin Khattab menyebutkan perihal Majusi seraya berkata: “Aku tidak mengetahui bagaimana aku harus bertindak tentang mereka”. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Jalankan kebijakan terhadap mereka seperti kebijakan terhadap Ahli Kitab”. Lebih lanjut, Rasyid Ridha—sebagaimana dikutip oleh buku Fiqih Lintas Agama—mengatakan: Yang nampak ialah bahwa al-Qur’an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sābi’īn dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Buddha dan para pengikut Konfusius karena kaum Sābi’īn dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula alamat al-Qur’an karena kaum Sābi’īn dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka (orang-orang Arab) belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Tujuan ayat suci telah dicapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab) sehingga tidak perlu menyebutkan keterangan yang terasa asing (ighrāb) dengan menyebut golongan yang tidak dikenal orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur’an, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha dan lain-lain. Setelah menjelaskan tentang ruang lingkup Ahli Kitab, buku Fiqih Lintas Agama lalu menjelaskan tentang perbedaan antara istilah Ahli Kitab dengan musyrik. Dalam bahasannya ditekankan bahwa Ahli Kitab tidak boleh disamakan dengan kaum musyrik karena Allah telah membedakan perlakuan terhadap mereka. Pembedaan didasarkan pada ayat berikut: إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيد Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam ayat tersebut Allah menyebutkan orang-orang Yahudi, Sābi’īn, Nasrani, Majusi serta orang-orang musyrik dengan penyebutan tersendiri yang menandakan masing-masingnya adalah golongan yang berbeda. Meskipun pada ayat lain disebutkan bahwa Allah menyifati Ahli Kitab sebagai musyrik karena para pendetanya dan Nabi Isa sebagai tuhan-tuhan selain Allah, tetapi asal-usul agama dan kitab suci mereka mengikuti ajaran tauhid sehingga mereka tetap berbeda dengan kaum musyrik seperti para musyrik Makkah penyembah berhala misalnya. Berangkat dari kesimpulan ini kemudian ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat yang menekankan perbedaan konsep sesembahan semisal surat al-Kāfirūn tidak dapat dipakai untuk “menghakimi” Ahli Kitab karena ayat-ayat tersebut dialamatkan kepada kaum musyrik Makkah. B. Bahasan Fiqih Terapan Setelah menerangkan panjang lebar tentang dasar teologis dari “Fiqih Lintas Agama” dan telah merasa cukup mendapat pembenaran, maka editor buku Fiqih Lintas Agama mulai menerangkan tentang perlunya membahas area fiqih terapan untuk menemukan bentuk nyata dari gagasan-gagasan tentang kerukunan antar umat beragama yang sebelumnya hanya berada dalam tataran teoritis. Tak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia, hubungan antara berbagai umat beragama semakin lama semakin intens. Segi positifnya tentu kerukunan dan kedekatan antar umat semakin mudah terjalin. Sisi negatifnya tentu saja semakin terbuka peluang terjadinya konflik horizontal akibat berbagai gesekan sosial dalam masyarakat yang salah satu pemicunya adalah perbedaan-perbedaan dalam hal agama dan tentang bagaimana setiap kelompok harus memperlakukan kelompok di luar mereka. Dalam Islam sendiri, berbagai hukum fikih tentang relasi antara Muslim dan non-Muslim telah dibahas panjang lebar oleh para ulama, namun begitu beragamnya pendapat tentang hal itu menyebabkan berbedanya tindakan beberapa Muslim terhadap non-Muslim; sebagian dari mereka toleran, sebagian lain intoleran dan sebagian lagi bersikap ekstrem, baik dalam toleransinya atau intolerannya. Buku Fiqih Lintas Agama yang diteliti ini termasuk salah satu bagian dari kelompok-kelompok yang berbeda pendapat tersebut. Beberapa pendapat ulama terdahulu yang dianggap “intoleran” oleh buku Fiqih Lintas Agama dibahas kembali dengan cara pandang yang serba inklusif . pendapat-pendapat tersebut yang berkembang luas di masyarakat Muslim dinilai telah memberikan andil dalam berbagai konflik antara Muslim dan non-Muslim. Analisis ini tentu tak sepenuhnya benar dan juga tak sepenuhnya salah, tapi fakta yang tak dapat dipungkiri adalah pembahasan-pembahasan tentang sikap Islam terhadap agama lain adalah urgen untuk terus dikemukakan guna memperkenalkan wajah Islam yang sesungguhnya, sesuai dengan klaimnya sebagai rahmatan li al’ālamīn. Berikut ini adalah cobtoh masalah fiqhiyah yang dicoba untuk diulas kembali dari perspektif inklusif yang berdasarkan pada teologi pluralis: Kawin beda agama Para ulama terdahulu biasa melarang praktek kawin beda agama atau pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang menganut agama yang berbeda. Dalam kasus Islam berarti seorang Muslim dilarang menikah dengan non-Muslim. Larangan ini didasarkan pada firman Allah: وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُون Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; d`an hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Buku Fiqih Lintas Agama membahas panjang lebar tentang perbedaan antara kaum Musyrik dan Ahli Kitab agar larangan menikah dengan musyrik dalam ayat di atas tidak diberlakukan bagi para Ahli Kitab. Musyrik yang disebutkan dalam ayat di atas menurut buku Fiqih Lintas Agama hanyalah Musyrik Arab, sesuai dengan tafsiran Rashid Ridha. Dengan demikian, menurutnya, bila kaum Musyrik Arab sudah tidak ada lagi, maka tidak ada halangan untuk melakukan nikah dengan pemeluk agama manapun. Penulis tidak akan mengulas perbedaan antara musyrik dan Ahli Kitab dengan panjang lebar karena mayoritas ulama telah sepakat bahwa kedua golongan tersebut berbeda, meskipun Ahli Kitab juga melakukan kesyirikan. Mereka pun telah sepakat bahwa seorang Muslim laki-laki menikah dengan perempuan Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat: الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi. Kehalalan menikahi wanita Ahli Kitab telah banyak disebutkan dalam kitab-kitab fiqih sehingga bukan lagi hal yang baru. Lalu, bagaimana bila yang menikah adalah seorang wanita Muslimah dengan Ahli Kitab atau non-Muslim secara umum? Pernikahan semacam ini dilarang keras oleh para ulama terdahulu. Tidak ada satupun kasus pernikahan semacam ini pernah terjadi pada masa Rasul atau sahabat Nabi. Fakta ini diakui oleh buku Fiqih Lintas Agama, tetapi buku Fiqih Lintas Agama memperbolehkan pernikahan antar agama seperti ini. Menurutnya, meskipun tidak ada ulama yang memperbolehkan wanita Muslimah dinikahi pria Ahli Kitab atau pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim secara umum, tetapi itu hanya penafsiran para ulama saja karena juga tidak ada teks yang melarang secara jelas. Larangan yang ada hanyalah berupa hadith mauqūf berikut ini: نتزوج نساء أهل الكتاب ولا يتزوَّجون نساءَنا Kami menikahi perempuan Ahli Kitab, tapi para lelaki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita kami. Hadith tersebut diterangkan dalam Tafsir al-Tabāry sebagai hadith yang lemah karena sanadnya tidak sampai pada Rasul. Karenanya, buku Fiqih Lintas Agama menolak hadith ini sebagai hujjah. Dengan begitu, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendapat para ulama yang mengharamkan laki-laki Ahli Kitab menikahi wanita Muslimah sebagai murni ijtihad yang bisa saja dibantah kevalidannya. Lebih lanjut, menurut buku Fiqih Lintas Agama, pernikahan campuran semacam ini layak diperbolehkan karena beberapa alasan; Pertama: pluralitas agama adalah sunnah Allah yang tidak bisa dihindarkan. Allah sendiri menerangkan bahwa perbedaan jenis kelamin bertujuan untuk saling mengenal. Kedua: tujuan pernikahan adalah untuk membangun mawaddah dan rahmah. Di tengah rentannya hubungan antara agama saat ini, pernikahan dapat menjadi wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman. Ketiga: semangat al-Qur’an adalah pembebasan. Tahapan-tahapan sejak dilarangnya menikahi orang musyrik kemudian menghalalkan menikahi Ahli Kitab menunjukkan pembebasan revolusioner yang pada akhirnya kita harus melihat agama lain bukan sebagai kelas kedua. ANALISIS BUKU FIQIH LINTAS AGAMA Melakukan analisis terhadap pemikiran seseorang bukanlah hal sulit bila data-datanya telah tersedia lengkap, tapi tidak demikian dengan menganalisis suatu karya yang ditulis beberapa pemikir sekaligus yang disajikan menyatu seolah ditulis oleh satu orang saja. Sebagaimana telah disebutkan, buku Fiqih Lintas Agama yang menjadi poin analisis pada tulisan ini ditulis oleh beberapa orang. Mun’im A. Sirry, selaku editor berkata bahwa buku ini bukanlah kumpulan tulisan dari beberapa penulis, tetapi ditulis secafra tim sebagai rangkuman pemikiran utuh yang melibatkan banyak ahli. Konsekuensinya, peta pemikiran buku tersebut terlihat agak kacau dan banyak ditemukan kontradiksi serta inkonsistensi pada bagian-bagiannya sehingga menyulitkan pembaca untuk membaca peta pemikiran buku tersebut tanpa membuat beberapa pengecualian. Pada beberapa bagian, tulisannya terkesan “dewasa” dan tidak asal mengkritik fiqih klasik, para ulama terdahulu atau ajaran Islam secara umum, tapi menghargai warisan peradaban masa lalu (turāth) sekaligus mau menerima pemikiran baru yang punya nilai maslahah bagi Islam dalam hubungannya dengan agama lain. Contoh tulisan tipe ini: Disebutkan bahwa dalam level metodologis, pembaharuan tidak mesti membabat habis akar-akar fiqih klasik, melainkan melakukan kontekstualisasi dan verifikasi sehingga diperlukan pembaharuan yang bersumber dari tradisi fiqih (al-muhāfazah ‘alā al-qadīm al-sālih wa al-akhdhu bi al-jadīd al-aslah). Contoh lain adalah masih disebutkannya pendapat ulama terdahulu berdasarkan dasar-dasar ijtihad dan melakukan pengunggulan (tarjīh) atas salah satu pendapat sebagaimana pada beberapa kasus yang disebutkan pada bab sebelumnya. Disebutkan juga bahwa Islam tidak hanya toleran bagi agama-agama, tetapi juga bersikap toleran, bahkan mengakomodasi tradisi-tradisi lokal yang berkembang di dataran Arab, jauh sebelum Islam turun ke bumi. Di lain tempat disebutkan bahwa Islam mempunyai concern yang mendasar terhadap perdamaian, keadilan dan kemaslahatan. Tesis Samuel Huntington, clash of civilization, disebut sebagai “provokasi gratis” untuk memperlebar jurang pemisah antara satu agama dan agama yang lain. Berbeda dengan itu, pada bagian lain, terdapat juga tulisan yang nuansanya serba menyalahkan dengan analisis yang penuh prasangka tanpa didukung data yang komprehensif. Penghargaan kepada turāth juga minim, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Contohnya, disebutkan bahwa terangkatnya Ihyā’ Ulūm al-Dīn karya al-Ghazali dalam pemikiran Islam dan tersisihnya Fasl al-Maqāl fi Mā Bain al-Hikmah wa al-Syarī’ah min al-Ittisal karya Ibnu Rusyd disebabkan perselingkuhan antara otoritas politik dengan pengetahuan keagamaan. Agama (baca: Islam) dianggap tidak mampu menyinari sejumlah krisis yang dihadapi manusia karena agama diharamkan dari kenyataan kekinian. Agama bungkam seribu bahasa. Agama hanya membela dirinya sendiri, yaitu dengan memunculkan ritualisme dan kepatuhan apologetik yang luar biasa. Disebutkan juga bahwa diperlukan tafsir yang membebaskan, yang menghilangkan ketergantungan pada sebuah realitas sejarah tertentu (al-salaf al-sālih) dan menjadikan doktrin keagamaan sebagai sumber etik untuk melakukan perubahan. Penulis tidak akan mengulas panjang lebar tentang berbagai kontradiksi ini karena sejatinya tiap asumsi dan kesimpulan pada satu bagian buku tersebut telah dibantah sendiri dalam bagian yang lain. Penulis akan lebih fokus pada gagasan utama (main idea) yang diusung buku tersebut, yaitu tentang bahasan teologis dan fiqhiyah. Sebelum menganalisis lebih jauh, berikut ini penulis sajikan alur pemikiran buku Fiqih Lintas Agama secara umum dalam bentuk skema untuk mempermudah pembacaan:   Skema di atas menggambarkan peta pemikiran buku Fiqih Lintas Agama secara umum. Disebut secara umum karena dalam bagian-bagian tertentu buku Fiqih Lintas Agama memandang Islam, fiqih dan relasi antara Muslim dan non-Muslim seperti halnya cara pandang umat Islam kebanyakan. Ini konsekuensi dari disusunnya buku tersebut oleh beberapa orang sekaligus sehingga ada divergensi pemikiran dan kontradiksi-kontradiksi. Namun, skema di atas mewakili ide pokok dari buku Fiqih Lintas Agama. Terlihat dari skema di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diambil tanpa logika yang runtut. Keganjilan-keganjilan tersebut akan dibahas pada tempat bahasannya masing-masing. Sebagai starting point, penulis akan menyorot tentang identitas fiqih, apakah bersifat teosentris ataukah antroposentris? Point ini penting untuk didahulukan karena atas pemahaman identitas fiqih akhirnya ini terjadi perbedaan antara keputusan fiqhiyah yang dikeluarkan para ulama terdahulu dengan keputusan fiqhiyah yang diusung buku Fiqih Lintas Agama. FIQIH; ANTARA TEOSENTRIS DAN ANTROPOSENTRIS Dalam beberapa tempat, buku Fiqih Lintas Agama mengkritik fiqih klasik yang dianggapnya bersifat teosentris. Terlihat sekali kalau buku Fiqih Lintas Agama keberatan dengan pemahaman mayoritas Muslim yang meyakini Islam secara integral dan komprehensif dan bahwa Islam adalah agama dunia dan akhirat (al-dunyā wa al-‘ākhirah), agama dan dunia (al-dīn wa al-dunyā) dan Islam sebagai agama dan negara (al-dīn wa al-daulah). Menurut buku Fiqih Lintas Agama, keberagamaan seperti itu menunjukkan identitasnya yang serba benar. Kebenaran agama yang dimaksud bukan kebenaran yang bersifat membebaskan manusia dari belenggu melainkan kebenaran yang sudah dikonstruksi untuk kepentingan pihak tertentu yang akhirnya menjadikan kebenaran semakin sempit,yaitu kebenaran yang dipersepsikan oleh sebagian orang, sekte, aliran dan mazhab. Hal seperti ini dinilai telah menyebabkan fiqih dan tafsir mengalami kebuntuan, kemandekan dan kemacetan yang luar biasa. Buku Fiqih Lintas Agama juga menyinyalir bahwa kemunculan fiqih adalah salah satu penyebab disakralkannya doktrin keagamaan dan lebih parah lagi, menjadikan agama tidak bisa disentuh dengan pendekatan-pendekatan sosiologis. Konsekuensinya, muncullah para penguasa atas kebenaran yang absolut. Dalam masyarakat, penguasaan fiqih sering kali menentukan posisi seorang agamawan antara yang satu dengan yang lainnya dengan kata lain derajat keulamaan seseorang di antaranya ditentukan oleh sejauh mana penguasaannya terhadap fiqih dan ushul fiqih. Fiqih kemudian dinilai menjadi kendaraan bagi beberapa golongan untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi dengan dimunculkannya Bank-bank Syari’at dan pelabelan halal. Fiqih juga dinilai telah dijadikan sebagai batu loncatan untuk membentuk kekuasaan baru yang berpusat pada otoritas tunggal. Konsep kasb yang digagas Imam Asy’ari dikritik karena memiliki kecenderungan untuk mengembalikan seluruh persoalan kepada Tuhan. Pembahasannya pada akhirnya akan memantapkan posisi Tuhan dan menenggelamkan eksistensi manusia. Konsep ini dianggap menjadi amunisi fiqih untuk memantapkan teosentrisme. Karena cara pandang seperti ini, buku Fiqih Lintas Agama lantas menilai bahwa pemahaman tentang keberislaman hanya ditentukan sejauhmana kesalehan individual diartikulasikan oleh seorang Muslim; Bila ritual keagamaannya sudah dilakukan sempurna, maka keberislamannya dianggap sempurna. Sebaliknya mereka yang mereka yang melakukan ritual keagamaan secara biasa-biasa saja, maka keberislamannya selalu dipertanyakan, bahkan mungkin disebut sebagai “Muslim yang tak sempurna”. Lebih jauh lagi, komunitas non-Muslim yang secara nyata tidak melakukan ritual keagamaan serupa, karena berbeda agama, dengan mudah para ulama fiqih memperlakukannya sebagai kafir dan musyrik hanya karena tidak melakukan ritual keagamaan sebagaimana layaknya Muslim. Kutipan-kutipan dari pemikiran buku Fiqih Lintas Agama di atas dan banyak statemen senada lainnya yang tidak dapat dikutip semuanya dalam tulisan ini seolah ditulis oleh seorang non-Muslim karena begitu dangkalnya pengetahuannya tentang Islam dan fiqih. Sulit dipercaya bahwa penulisnya adalah seorang Muslim yang bahkan biasa dikenal sebagai intelektual Muslim. Analisis yang dipakai hanyalah analisis sederhana yang didasari perasan tidak suka kepada fiqih dan orang-orang yang dimuliakan oleh masyarakat karena penguasaan fiqihnya. Dalam analisisnya, sama sekali tidak dilibatkan unsur ukhrāwi kecuali dalam pengertian yang negatif, dengan cara disebutkan untuk mendapatkan keuntungan yang bersifat duniawi. Penilaiannya murni berdasarkan sudut pandang materi belaka seolah yang tampak bagi penulisnya adalah semata, harta, strata dan pengaruh sosial serta kekuasaan. Bila metode analisis “su’u al-zann” tersebut dipakai untuk menganalisis cabang ilmu yang lain, semisal ilmu sosial, ilmu teknik dan ilmu telekomunikasi dan lain-lain, maka hasilnya akan selalu sama. Para penggelut dan ahlinya akan selalu dinilai sebagai orang yang menjadikan ilmunya sebagai ajang penguatan kapital. Sama sekali tidak ada bukti yang mendukung tiap-tiap kesimpulannya. Yang ada hanyalah beberapa fakta yang ditafsirkan sesuai dengan ide-ide penulisnya atau dengan kata lain hanya kumpulan asumsi-asumsi belaka. Bila fakta-fakta yang ada dibaca dengan sudut pandang berbeda, misalnya dengan menampilkan unsur ukhrāwi, ideologi, idealisme, ketaatan dan profesionalisme, maka kesimpulan yang dicapai tentu akan jauh berbeda. Memang betul bahwa ada sebagian kalangan yang menjadikan fiqih sebagai “ajang jual beli teks” dan batu loncatan untuk meraih kekuasaan dan pengaruh. Dalam tradisi Islam, mereka dikenal sebagai ulamā’ al-sū’ [ulama yang berperilaku buruk]. Tetapi, menggeneralisir hal itu dengan serampangan seperti yang dilakukan buku Fiqih Lintas Agama adalah sebuah kepicikan. Sama piciknya dengan anggapan orang awam bahwa semua yang berasal dari barat adalah jelek, dan semua gagasan para ulama adalah pasti benar dan harus diterima tanpa kritik. Ini adalah sebuah generalisir yang tergesa-gesa dan sangat menyederhanakan masalah. Sejarah telah mencatat begitu banyak ulama yang berjuang dalam tekanan pemerintah atau kekuasanaan. Di antara mereka adalah Abu Hanifah, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiyah, Ibnu Hazm dan tak terhitung lainnya. Kebanyakan dari mereka bahkan secara materi tidak termasuk sebagai orang kaya, meskipun memang semunya adalah orang berpengaruh. Anggapan bahwa dalam Islam kesalehan/kualitas keberagamaan seseorang hanya ditentukan sejauh mana dia melakukan ibadah yang bersifat individual juga merupakan asumsi yang salah besar. Dalam al-Qur’an, perintah shalat hampir selalu diikuti dengan perintah zakat atau perintah shadaqah. Ini melambangkan keseimbangan antara ibadah yang bersifat individual dengan ibadah yang bersifat sosial. Bahkan, Muslim awampun mengerti bahwa dalam Islam berlaku konsep habl min Allah wa habl min al-nās [hubungan baik dengan Allah dan manusia]. Yang jauh lebih aneh lagi adalah ketika buku Fiqih Lintas Agama menggugat tindakan ulama yang menyebut non-Muslim sebagai “kafir” dan “musyrik” karena mereka tidak mengartikulasikan keberagamaannya seperti orang Islam. Sepertinya, penulis buku tersebut memahami terma “kafir” dan “musyrik” sebagai umpatan dan caci maki. Padahal, keduanya adalah identitas, seperti halnya terma “Muslim”, “Kristen”, “Yahudi”, “Pejabat”, “Pegawai”, “Pahlawan”, “Penjajah” dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan klasifikasi seperti itu selama dilandaskan pada bukti-bukti yang nyata. Dalam rangka kritik terhadap teosentrisme, buku Fiqih Lintas Agama juga menyorot pendapat al-Ghazali dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn yang mengategorikan ilmu-ilmu agama seperti kalam, fiqih, tafsir dan tasawuf ke dalam kategori “wājib ‘ain”, sedangkan ilmu-ilmu sosial, kedokteran, politik dan ekonomi dikategorikan sebagai “wājib kifāyah”. Klasifikasi seperti ini memang benar terjadi, namun yang menjadi masalah adalah buku Fiqih Lintas Agama memahaminya sebagai upaya ulama untuk memantapkan teosentrisme dan menomorduakan masalah-masalah kemanusiaan atau sosial. Pemahaman seperti inilah yang sebenarnya bermasalah, bukan klasifikasinya. Dalam pandangan ulama, justru wājib kifāyah dinilai lebih utama daripada wājib ‘ain. Dalam al-Majmū’ karya al-Nawawi disebutkan demikian: وقد قال امام الحرمين رحمه الله في كتابه الغياثى فرض الكفاية أفضل من فرض العين من حيث أن فاعله يسد مسد الامة ويسقط الحرج عن الامة وفرض العين قاصر عليه. Imam al-Haramain ra. berkata dalam kitabnya yang berjudul al-Ghiyāthī: “wajib kifāyah lebih utama dari wajib ‘ain karena pelakunya memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga hilanglah kesulitan masyarakat, sedangkan fardlu ‘ain, hanya mencakup kebutuhan pribadinya sendiri. Dalam khazanah Islam, hukum dapat berubah seiring perubahan zaman, tempat dan keadaan seperti telah disebutkan di awal tulisan ini. Tetapi, hukum yang dapat menerima perubahan adalah hukum-hukum yang bersumber dari ijtihad terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan secara terperinci olah nas. Adapun hukum yang sudah ada perinciannya secara pasti oleh nas, maka hukum itu selamanya tidak boleh berubah. Hukum yang tidak dijelaskan secara pasti itu adalah hukum yang berlandaskan pada kebutuhan temporer masyarakat tertentu di jaman tertentu pula, seperti halnya hukum positif suatu negara dan hukum adat. Manakala kebutuhan masyarakat telah berubah, maka hukum yang sebelumnya terbentuk harus berubah pula mengikuti kebutuhan masyarakat. Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa: “tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang sudah ada nas-nya secara pasti”. Lebih jauh lagi dia mengatakan: Jika peristiwa yang hendak diketahui hukumnya itu telah ditunjukkan hukum syara’nya oleh dalil yang jelas dan pasti datangnya serta maknanya oleh dalil yang jelas dan pasti datangnya serta maknanya, maka tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad di sana. Yang wajib yaitu harus dilaksanakan makna yang telah ditunjukkan oleh nash di sana. Karena selama dalil itu pasti datangnya, maka tidaklah ketetapannya dan keluarnya dari Allah dan Rasul-Nya itu menjadi objek pembahasan dan pencurahan daya kemampuan. Dan selama dalil itu pasti maknanya, maka tidaklah dalalah dalil atas maknanya dan pengambilan hukum daripadanya itu menjadi objek pembahasan dan ijtihad. Nas Al Qur’an dari sudut kepastian dan tidaknya terbagi menjadi dua kategori: Qat’ī (pasti/tetap) dan zanny (tidak pasti/dugaan). Kedua kategori tersebut masih terbagi menjadi dua sub kategori, yaitu: • Qat’ī:  dari segi wurūdnya atau periwayatannya  dari segi dalālah atau petunjuknya. • Zanny:  dari segi wurūdnya atau periwayatannya  dari segi dalālah atau petunjuknya. Dari segi wurūd-nya atau periwayatannya, seluruh nas Al Qur’an adalah pasti (qot’iy). Artinya kita memastikan bahwa setiap nas Al Qur’an yang kita baca itu adalah hakikat nas Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya dan disampaikan oleh rasul yang ma’sūm kepada umatnya tanpa perubahan atau penggantian. Adapun dari segi dalālah atau petunjuknya, nas Al Qur’an sebagian berisi petunjuk yang qat’ī dan sebagian lagi zanny. Nas yang qot’iy al-dalālah adalah nas yang menunjukkan makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta’wil, tidak ada tempat bagi pemahaman arti selain yang itu seperti halnya dalil-dalil tentang dasar-dasar agama dan banyak dalil-dalil hukum. Sedangkan nas yang zanny al-dalālah adalah nas yang petunjuk maknanya masih samar dan dapat menimbulkan beberapa interpretasi. Dalam dalil-dalil yang bersifat jelas dan pasti itu, fiqih bersifat teosentris dan sekaligus dogmatis. Dalam wilayah ini nalar tidak boleh digunakan kecuali untuk memberikan dukungan dan menguatkan kepatuhan. Al-Shatibi dalam dalam “pendahuluan kesepuluh” dari karya monumentalnya, al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Sharī’ah menjelaskan bahwa tatkala akal dianggap bertentangan dengan naql (teks al-Qur’an atau hadith), maka yang harus didahulukan adalah naql sehingga naql menjadi pemimpin dan akal menjadi pengikut. Akal dilarang untuk lepas dalam berpikir kecuali dalam batas yang dibenarkan oleh naql. Al-Shatibī kemudian menyebutkan tiga alasan kenapa naql harus didahulukan atas akal, yaitu: Pertama, andai kata akal dapat bebas melampaui naql, maka batas-batas yang diciptakan oleh naql menjadi tidak berguna lagi dan ini merupakan kebatilan. Kedua, dalam Ilmu Kalām dan Ilmu Usūl telah dinyatakan bahwa akal tidak dapat memutuskan yang mana kebaikan dan yang mana kejelekan karena sudut pandang dan kemampuan masing-masing akal berbeda-beda dan terbatas. Ketiga, seandainya akal ditempatkan di atas naql, maka akal dapat membatalkan satu ketetapan syartiat dan sudah pasti dapat juga membatalkan ketetapan-ketetapan syari’at atau agama secara keseluruhan. Hal ini sangat mustahil ditetapkan karena syariat ditetapkan untuk membatasi dan mengatur tingkah laku, perkataan dan keyakinan mukallaf. Bila batas ini masih juga bisa dibatalkan, maka tidak ada batas lagi yang bisa diberlakukan karena semua akan menjadi serba relatif. Adapun dalam dalil-dalil yang petunjuknya bersifat zanny (multi interpretasi) atau lebih-lebih dalam kasus yang tidak dapat ditemukan dalilnya secara jelas, maka fiqih lebih bersifat antroposentris. Dalam wilayah ini para mujtahid melakukan berbagai ijtihad untuk mengeluarkan sebuah hukum yang paling mendekati dengan maksud-maksud syari’at yang intinya adalah kemaslahatan. Hukum yang dikeluarkan pada wilayah ini biasanya bersifat lentur dan lunak, tetapi sebagai hasil dari ijtihad, hukumnya kebanyakan terbatas oleh waktu, tempat dan kondisi. Pandangan seperti ini adalah pandangan ulama Islam secara umum. Namun, akhir-akhir ini memang ada upaya untuk mengijtihadi dalil-dalil yang selama berabad-abad dianggap qat’ī, tidak dapat diutak-atik lagi dan merupakan bagian patuh atau tidak patuh. Masdar F. Mas’udi, salah satu penulis buku Fiqih Lintas Agama, melakukan reinterpretasi pada konsep qat’ī-zannī dengan mengatakan bahwa dalil qat’ī adalah nilai kemaslahatan dan keadilan yang merupakan jiwa dari hukum itu sendiri. Sedangkan dalil zannī adalah seluruh ketentuan teks, ketentuan normatif yang bisa digunakan untuk menerjemahkan yang qat’ī dalam kehidupan nyata. Dalam sejarah Islam, pemikiran seperti ini sebenarnya telah dimulai oleh kaum Muktazilah yang menegaskan kesamaan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak puas hanya dengan pernyataan keunggulan akal di atas tradisi, tapi lebih jauh meletakkannya hingga sederajat dengan firman Allah. Fazlur Rahman menegaskan bahwa pemahaman seperti ini dipengaruhi oleh ide-ide Hellenistik. Gagasan seperti ini meskipun terlihat indah tetapi tetap saja lemah dari segi hukum karena hukum membutuhkan ketegasan, bukan ketidak-pastian. Bila satu-satunya dalil yang pasti adalah maslahah dan keadilan, maka pertanyaannya: apakah yang dapat dijadikan ukuran maslahah dan keadilan itu dan siapakah yang bisa mengklaim bahwa pendapatnya adalah yang paling maslahah? Jawabannya tentu sulit dijawab karena tiap orang punya nilai “kemaslahatan” yang berbeda sesuai dengan pola pikirnya masing-masing. Dalam bidang sosial, konsep ini bisa saja diterima, tapi dalam ranah agama tentu tidak semudah itu karena konsep ini bisa meruntuhkan seluruh bangunan agama. Sebagai contoh, pelacuran dari sudut pandang pelacurnya adalah “kemaslahatan” di tengah kesulitan ekonomi, mengumbar aurat adalah “kemaslahatan personal” yang tidak boleh diganggu dalam sudut pandang banyak orang, bahkan trial married [kawin percobaan sebelum memutuskan untuk menikah resmi] dipandang sebagai “kemaslahatan” dalam budaya Kristen barat guna meminimalisir perceraian yang dalam Injil diharamkan. Untuk menghindari chaos, diperlukan suatu tolok ukur yang dapat menyatukan semua pendapat dan tidak dapat dilanggar. Tolok ukur itu adalah dalil qat’ī dalam pengertian para ulama yang merupakan wilayah teosentris. Tak dapat dibantah bahwa kemaslahatan adalah tujuan syari’at, tapi harus digarisbawahi bahwa tidak semua kemaslahatan dapat dijadikan pedoman. Kemaslahatan yang dapat dijadikan pedoman hanyalah kemaslahatan yang tidak melanggar dalil qat’ī atau biasa dikenal sebagai al-munāsib al-mu’tabar dan munāsib al-mursalah. Adapun kemaslahatan yang bertentangan dengan dalil qat’ī tidak dihitung sebagai kemaslahatan atau al-munāsib al-mulghā. Kembali ke masalah utama, fiqih tidak dapat digeneralisir sebagai bersifat teosentris ataupun antroposentris. Fiqih pada satu sisi bersifat teosentris, di mana kepatuhan kepada Tuhan menjadi tujuan utamanya dan pada sisi lain bersifat antroposentris, di mana kemaslahatan menjadi tujuan utamanya. Membuat fiqih menjadi murni teosentris—sebagaimana yang dilakukan sebagian aliran Islam garis keras yang sangat tekstualis—pada derajat tertentu akan menyebabkan kemandulan fiqih dari kemaslahatan. Sebaliknya, menjadikan fiqih sebagai murni antroposentris akan menjadikan fiqih sebagai “undang-undang akal-akalan” yang nilai kemaslahatan dari keputusannya sangat debatable. Tentunya, karena pedoman fiqih antroposentris adalah kehendak dan kepentingan manusia, maka hal-hal yang sejatinya buruk secara individual seperti zina, minuman keras, pindah-pindah agama dan sebagainya akan dianggap wajar selama manusia secara umum menghendakinya dan tidak mengganggu orang lain. Hal lain yang mesti disadari adalah fiqih yang murni antroposentris tidak akan mampu melahirkan kemaslahatan ukhrāwi, tetapi hanya kemaslahatan duniawi belaka. Ini merupakan bencana bagi semua orang beriman. Analisis terhadap landasan teologis buku Fiqih Lintas Agama Landasan teologis dalam buku Fiqih Lintas Agama menempati tempat yang urgen. Berangkat dari landasan itulah konsep fiqih baru yang dinamakan sebagai “Fiqih Lintas Agama” digagas. Seperti disebutkan sebelumnya, buku Fiqih Lintas Agama tidak hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa tema dari hukum fiqih praktis seperti yang dilakukan oleh kebanyakan pemikir Islam, tapi jauh melangkah lebih berani dengan mendekonstruksi konsep-konsep ilmu kalam yang selama ini menopang eksistensi fiqih dan bahkan Islam itu sendiri. Langkah ini adalah salah satu sebab kenapa buku Fiqih Lintas Agama tidak hanya mendapat kritik dari banyak orang tapi juga berbagai hujatan. Pada bab sebelumnya, telah disebutkan secara agak detail landasan-landasan teologis buku Fiqih Lintas Agama. Di bawah ini, penulis mencoba menampilkan alur pikir tersebut dalam bentuk skema dari awal landasan berpikir mereka, yaitu tauhid hingga sampai pada kesimpulan bahwa semua agama yang mempunyai kitab suci adalah pada sejatinya sama saja, yang berbeda hanyalah cara, hukum terapan/syari’at dan minhaj, dan wijhah-nya saja yang kesemuanya berpeluang untuk mengantarkan pemeluknya ke dalam surga. Berikut adalah skema yang dimaksud: Alur pikir yang terlihat dalam skema tersebut nampak sekali kelemahannya. Terlihat ada beberapa hal yang tidak ada buktinya, namun dipaksakan untuk menghasilkan sebuah kesimpulan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: 1. Allah adalah proper name. Buku Fiqih Lintas Agama berpendapat bahwa dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang asasi; yang asasi adalah pengertiannya. Dalam konteks tertentu, pernyataan ini tidak bermasalah, selama nama-nama lain yang dimaksud adalah nama yang diakui oleh Islam karena Allah memang mempunyai al-asmā’ al-husnā [nama-nama yang baik]. Namun, pernyataan seperti itu dalam konteks yang umum akan cenderung memberi pemahaman yang tidak tepat; yaitu bahwa tidak penting apa atau siapa nama Tuhannya, yang penting adalah esensi ketuhanannya. Dengan pemahaman keliru seperti ini, dapat disimpulkan bahwa semua sesembahan agama lain, baik Ahli Kitab atau bukan pada esensinya adalah Allah, seperti yang dikonsepkan Islam; sebuah kesimpulan yang jelas-jelas melenceng dari agama dan akal sehat. Ulama memang berbeda pendapat tentang asal kata “Allah”. Pendapat pertama mengatakan bahwa “Allah” adalah sebuah nama khusus (proper name) bagi Tuhan yang disembah dengan benar, tanpa berasal dari bentukan kata lain yang dikenal manusia atau yang dikenal dengan istilah ‘alam murtajal dan ini pendapat mayoritas. Pendapat kedua menyebutkan adanya asal kata yang kemudian membentuk kata “Allah”. Namun, pendapat ini tidak dengan sendirinya menjadi bukti bahwa Allah bukanlah nama, hanya sifat (julukan) yang berarti “Tuhan” sebagaimana dipahami sebagian kalangan. Yang benar adalah pendapat kedua ini mengakui bahwa meskipun kata “Allah” berasal dari bentukan kata lain yang biasa dipakai manusia, tetapi kemudian berubah arti menjadi sebuah nama atau identitas diri (proper name) bagi Tuhan semesta alam yang disembah dengan benar, bukan yang lainnya. Penegasan tentang nama Tuhan ini sangat penting karena pada masalah nama ini klasifikasi agama-agama dibuat. Dengan melakukan penyamaan dan generalisir terhadap nama “Allah”, sebagian golongan Islam penganut pluralisme agama mengklaim bahwa semua agama pada dasarnya menyembah tuhan yang sama, yang dalam bahasa Arab disebut Allah, dalam bahasa Inggris disebut God, dalam bahasan Indonesia disebut Tuhan dan seterusnya. Pemahaman pluralisme ini merupakan penyederhanaan yang luar biasa terhadap masalah nama Tuhan. Sebagaimana diketahui, berbagai nama atau panggilan terhadap Tuhan itu tidak datang hanya dengan arti “Tuhan”, tetapi membawa berbagai atribut yang khas yang membuatnya saling berbeda satu sama lain. Buku Fiqih Lintas Agama juga mengatakan bahwa kata Allāh atau al-Ilāh dapat disepadankan dengan kata the God dalam bahasa Inggris dan logikanya mesti juga sepadan dengan istilah dalam bahasa yang lain. Pendapat ini jelas sekali tidak tepat karena ada perbedaan yang prinsipil antara keduanya. Sebagaimana diketahui, kata Allāh—bahkan oleh orang musyrik sekalipun—hanya diucapkan untuk merujuk pada Tuhan pencipta alam, bukan untuk tuhan-tuhan sesembahan lainnya. Bahkan, pemerhati Islam dari kalangan barat juga menyadari hal ini. Merlin L. Swartz misalnya, ketika menceritakan tentang Allah yang dikenal orang Arab pra-Islam, dia berkata: “the final devinity to be considered is Allāh wo was recognized before Islam as god, and if not as the only god at least as a Supremes god.” Sebagai proper name, kata ini sangat khas karena selain hanya merujuk pada satu oknum tertentu, juga tidak mempunyai bentuk plural dan bentuk feminim (tidak punya arti yang menimbulkan penyekutuan atau penyalah artian). Berbeda dengan itu, kata the God tidak merujuk pada oknum tertentu, tetapi sesuai dengan citra dan sifat-sifat yang diyakini oleh penyebutnya. Selain itu, kata the God juga dikenal dalam bentuk plural, yaitu the Gods dan dalam bentuk feminim, yaitu the Goddess. Hal yang sama juga berlaku pada kata-kata lain yang digunakan untuk merujuk pada Tuhan, termasuk kata “Tuhan” atau “Dewa” yang kita kenal. Dalam ucapan sehari-hari, kalimat seperti “Siapakah Tuhanmu?”, “who’s your God?” atau “man rabbuka?” adalah kalimat yang wajar. Akan tetapi, sama sekali tidak dikenal kalimat “Siapa Allahmu?”, “Who’s your Allah?” atau “man Allahuka?”. Alasannya tentu karena kata “Allah” dikenal sebagai nama diri (proper name), bukan semata berarti Tuhan. Karena alasan yang sama, kalimat syahadat harus diucapkan lā ilaha illā Allah, bukan lā ilaha illā al-Rahīm, atau illā al-Malik dan sebagainya sebab penggunaan selain kata Allah, meskipun dari asmā’ al-husna sekalipun, tidak dapat menafikan adanya penyekutuan. Perlu ditegaskan bahwa kata “Tuhan”, “God”, “Lord” dan lainnya pada hakikatnya tidak setara dengan kata “Allah” dalam bahasa Arab, tetapi setara dengan kata “Ilah” atau “Rabb”. Dengan demikian, penerjemahan kata “Allah” menjadi “Tuhan” adalah terjemah yang tidak tepat. Dalam bahasa Indonesia, orang yang mengatakan “tidak ada tuhan kecuali Tuhan” atau “kecuali Tuhan Yang Maha Esa” atau kalimat yang semakna sama sekali tidak meniadakan adanya penyekutuan terhadap Allah karena kata “Tuhan”—meskipun memakai huruf kapital sekalipun—tetap saja tidak merujuk pada pribadi tertentu secara khusus, sama saja dengan kata “presiden”—baik dengan huruf kecil atau kapital—tidak dengan sendirinya merujuk pada Soekarno, Soeharto dan lain-lain sehingga petunjuknya masih samar. Kesimpulannya, gagasan buku Fiqih Lintas Agama yang hendak menyamakan konsep ketuhanan dari berbagai agama dengan menyederhanakan arti kata “Allah” adalah tidak tepat dan tidak dapat diterima karena mengaburkan tauhid. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini berikut semua umat manusia, baik yang beragama maupun tidak, memang ada satu dan pastilah satu-satunya. Ini adalah fakta yang tak dapat dibantah, tetapi konsep ketuhanan tiap-tiap agama berbeda-beda. Perbedaan konsep ini tidak dapat serta-merta diabaikan begitu saja. Penulis tidak hendak mengkritik penyamaan Tuhan dari berbagai agama monoteis, tapi penyamaan konsep ketuhanan dari berbagai agama atau penyetaraannya. Perlu dicatat bahwa tauhid yang dimaksud di sini tentu bukan “tauhid” versi buku Fiqih Lintas Agama yang semata memahami tauhid dari segi bahasa saja, yaitu: ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensi tauhid dengan model ini berarti ada konsep tauhid versi Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu dan tauhid versi agama lain. Padahal, agama-agama selain Islam dalam al-Qur’an jelas-jelas secara eksplisit disebut sebagai agama yang melakukan tashrīk sehingga tidak mungkin pada saat yang sama juga disebut sebagai agama yang bertauhid. Tauhid yang dimaksud di sini adalah ajaran Islam yang meyakini bahwa Allah itu satu dan satu-satunya tanpa sekutu yang kesatuannya tidak terdiri dari gabungan bagian-bagian yang lebih kecil. Konsep tauhid berbeda dengan konsep monoteisme. Agama Kristen, Yahudi, Hindu dan Budha misalnya, adalah agama monoteis, tetapi bukan agama tauhid karena ke-Esaan Tuhan dalam konsep mereka bukan ke-Esaan mutlak, tetapi ke-Esaan yang masih menerima adanya “sekutu Tuhan” atau penggabungan “beberapa Tuhan”. 2. Tidak ada bukti bahwa agama selain Islam, Yahudi dan Nasrani berasal dari Nabi dan atau Rasul Allah. Buku Fiqih Lintas Agama pada awal bahasannya menyuguhkan betapa banyaknya para Nabi Allah dan bahwa umat Islam harus mempercai mereka tanpa membeda-bedakan antara yang satu dengan lainnya. Pembahasan berikutnya menekankan adanya garis kesinambungan antara para Nabi tersebut. Pembahasan selanjutnya mengarahkan umat Islam agar memandang agama-agama Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagai agama yang diakui dan setara dengan Islam. Langkah selanjutnya adalah memperlebar cakupan Ahli Kitab hingga meliputi seluruh agama lain yang mempunyai kitab suci sambil dalam waktu yang sama menekankan bahwa Islam adalah “kepatuhan dan ketundukan kepada Tuhan tanpa dibarengi sikap sektarian dan komunalistik”. Logika seperti ini cacat karena meskipun benar bahwa terdapat 124.000 Nabi yang diutus Allah, bukan berarti berbagai agama yang ada hingga saat ini dibawa oleh satu atau beberapa Nabi Allah tersebut yang kemudian terjadi penyelewengan terhadap ajarannya seperti yang terjadi pada Yahudi dan Nasrani yang memang diakui secara khusus dalam Islam sebagai sesama “agama langit”. Sama sekali tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Sidharta Ghautama (Budha), Zoroaster/Zarathustra (Majusi), Lao Tze (Tao), Guru Nanak (Sikh), Konfusius (Khonghucu) dan lain-lain adalah para Nabi atau Rasul Allah. Beberapa kesamaan ajaran saja hanya dapat menjadi indikasi, tetapi tidak cukup untuk menjadi bukti. Sebagai perbandingan, Guru Nanak, pendiri agama Sikh yang punya latar belakang pendidikan Hindu dan Islam, diyakini oleh pengikutnya sebagai Nabi yang telah berbicara dengan Tuhan Yang Maha Esa karena pernah secara ajaib dia menghilang tanpa jejak selama tiga hari kemudian muncul lagi dengan membawa ajaran baru yang menafikan ajaran Hindu ataupun Islam. Dia menyerukan rukun agama yang disebutnya sebagai Mool Mantra yang isinya mirip, bahkan sama dengan konsep tauhid islam. Isinya sebagai berikut:  Ik Onkar = There is but One Supreme Protector [Tak ada tuhan selain Tuhan Esa Sang Pelindung Utama]  Sat Nam = The only True One [Satu-satunya Tuhan yang benar]  Karta Parukh = The Creator, All Pervasive [ Sang Pencipta, meliputi apapun]  Nirbhau = without fear [ tanpa rasa takut]  Nir Vair = without rancour [tanpa kedengkian]  Akal Murat = Eternal is His Manifestation [Abadi dalam wujud-Nya]  Ajooni Saibhang = Free from birth and rebirth; self created [tidak melahirkan atau dilahirkan]  Gur Prasad = Realised only by His Grace [dinyatakan hanya dengan sifat lemah lembut] Guru Nanak mengatakan bahwa Jagannath [Tuhan semesta alam] tidak akan ditemukan dalam pahatan kayu. Dia selalu menyerukan keesaan Tuhan ke manapun dia pergi. Tidak jarang Guru Nanak berdebat dengan pemuka agama lainnya tentang konsep tuhan yang benar. Agama Sikh, seperti agama lainnya, juga mempunyai kitab suci yang bernama Adi Granth. Isinya berisi keesaan tuhan, pelajaran moral dan bacaan-bacaan harian orang Sikh. Pertanyaannya adalah apakah Guru Nanak dengan ajaran-ajaran yang dibawanya, lantas dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang Nabi Allah atau Rasulnya? Tentu saja tidak, tidak ada Nabi atau Rasul lagi setelah Nabi Muhammad. Lalu apakah Adi Granth karena berisi kebaikan dan dianggap suci oleh kaum Sikh lantas bisa diakui sebagai kitab suci oleh umat Islam? Jawabnya tentu saja juga tidak bisa diakui karena kitab itu bukan dibawa oleh Nabi Allah. Pertanyaan selanjutnya, apakah orang Sikh adalah Muslim? Jawabannya tentu bukan karena mereka tidak mengakui syari’at Islam. Yahudi dan Nasrani, dalam pandangan Islam berbeda dengan seluruh agama yang lain. Nabi-Nabi dan para rasul dalam kedua agama tersebut jelas disebutkan dalam al-Qur’an sebagai Nabi dan Rasul Allah yang harus diimani setiap Muslim. Berbeda dari tokoh-tokoh kedua agama langit tersebut, tokoh agama lainnya sama sekali tidak disebutkan atau tidak dikenal sebagai Nabi Allah, meskipun juga menyerukan ajaran yang banyak kesamaan dengan Islam. Buku Fiqih Lintas Agama bersikap tidak objektif karena hanya menyorot sisi kesinambungan ajaran para Nabi, tetapi mengabaikan poin penting bahwa syari’at Nabi Muhammad selain percaya pada ajaran Nabi terdahulu, juga melakukan koreksi terhadap berbagai keyakinan dan tindakan umat mereka yang salah dan sekaligus menghapus pemberlakuan syari’at terdahulu. Ayat-ayat atau hadith yang menegaskan hal ini sangat banyak dan menjadi pengetahuan umum, tetapi semuanya dilupakan oleh Buku Fiqih Lintas Agama. Sekedar contoh, berikut ini beberapa saja dari sekian banyak ayat dan hadith yang dimaksud: يَا أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ جَاءَكُمْ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمْ كَثِيرًا مِمَّا كُنْتُمْ تُخْفُونَ مِنَ الْكِتَابِ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيم Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi al-kitab yang kamu sembunyikan dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah, Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti kerelaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukkan mereka ke jalan yang lurus. وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِين Mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآَنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ Orang-orang kafir itu amal-amal mereka bagaikan fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi setelah air itu didatangi, dia tidak mendapat sesuatu apapun. Dia justru mendapat (ketetapan) Allah, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidak ada seorangpun Yahudi dan Nasrani yang mendengar ajaranku kemudian mati tanpa beriman terhadap apa yang diutus kepadaku kecuali termasuk penghuni neraka. …فوالذي نفسي بيده ! لقد جئتكم بها بيضاء نقية ، لا تسألوهم عن شئ فيخبروكم بحق فتكذبوا به ، أو بباطل فتصدقوا به ، والذي نفسي بيده ! لو كان موسى حيا ما وسعه إلا أن يتبعني … Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, apa yang kubawa kepada kalian adalah ajaran yang putih bersih. Jangan tanya mereka (Yahudi dan Nasrani) tentang sesuatupun sehingga mereka dapat mengabarkan kebenaran tetapi kalian menganggapnya bohong, atau mereka mengabarkan kebatilan tetapi kalian membenarkannya. Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup, tidak ada pilihan baginya kecuali mengikutiku. Dalil-dalil yang serupa dengan di atas sangat banyak. Sekelompok pluralis dan liberal, seperti buku Fiqih Lintas Agama, telah melakukan tafsiran ulang terhadap beberapa kata dalam dalil tersebut sehingga terkesan tidak bertentangan dengan pluralisme agama. Namun, yang mereka lakukan tidak lebih dari mengambil sebagian ayat dan mengingkari yang lainnya; yu’minūna bi ba’d wa yakfurūna bi ba’d. Tidak pernah ada sebuah penafsiran yang utuh dan tidak mengandung kontroversi dalam bagian partikularnya tentang al-Qur’an dan hadith dengan metode penafsiran ala pluralis. Ini terjadi karena epistemologi yang digunakan amat minim. Minimnya epistemologi Islam liberal memberi kesan bahwa Islam liberal lebih bersemangat untuk berbicara hanya pada persoalan ad hoc dan parsial tanpa perlu menyiapkan terlebih dahulu kerangka epistemologinya. Memang benar bahwa Islam melanjutkan risalah para Nabi terdahulu, tetapi tidak ada satu pun ayat al-Qur’an atau hadith Nabi yang memerintahkan untuk menerima secara taken for granted ajaran para Nabi terdahulu tersebut karena ajaran mereka yang eksis hingga zaman Nabi Muhammad sampai sekarang adalah ajaran yang telah terkontaminasi oleh ajaran yang salah. Buku Fiqih Lintas Agama sengaja mengabaikan fakta sepenting ini dan membangun teologi pluralis yang bukan hanya menyalahi, tetapi bahkan menyakiti banyak orang Islam hanya dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu “dengan mempertimbangkan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para Nabi utusan Tuhan”. Salah satu bentuk kepercayaan kepada Nabi Muhammad adalah percaya bahwa semua yang dibawanya adalah benar dan semua agama yang diperanginya adalah salah. Tanpa logika seperti ini, untuk apa Nabi Muhammad bersusah payah memerangi keyakinan umat Nabi yang terdahulu bila semua diakui benar seratus persen? 3. Islam tidak hanya berisi kepasrahan. Buku Fiqih Lintas Agama sangat menyederhanakan masalah ketika mengartikan Islam hanya sebagai “kepasrahan dan ketundukan”, mengartikan Yahudi dan Nasrani sebagai “model sikap sektarian dan komunal”, mengartikan minhaj sebagai “cara beribadah”, shir’ah atau sharī’ah sebagai “jalan” dan mansak (plural: manāsik) sebagai “upacara keagamaan” yang ketiganya dimiliki oleh semua agama dengan wujud penerapan yang berbeda-beda. Tentu saja, dalam perspektif buku Fiqih Lintas Agama semua bentuk yang berbeda itu adalah dari Allah dan semuanya direstui oleh-Nya. Semua terma itu tentu saja mempunyai arti secara etimologi dan terminologi pada waktu yang sama. Lumrahnya, setiap orang akan memahami suatu kata berdasarkan arti terminologinya karena arti ini yang biasanya dipakai sehari-hari. Adapun arti secara etimologi hanya digunakan untuk membantu pemahaman yang lebih baik terhadap arti terminologinya. Namun, tidak demikian dengan buku Fiqih Lintas Agama dan kebanyakan penganut pluralisme agama lainnya; Mereka melupakan begitu saja arti terminologinya dan serta-merta mengambil arti etimologinya saja sehingga menjadi pemahaman yang general tapi absurb. Pemahaman seperti ini jelas tidak dapat diterima. Dalam istilah Usūl Fiqh, istilah-istilah yang dirombak maknanya tersebut disebut sebagai al-haqīqah al-shar’iyah, yaitu: penggunaan suatu terma yang bersifat syari’at untuk menunjukkan suatu arti yang memang dibentuk oleh syari’at sejak awal mulanya; baik berupa terma dan makna yang tidak diketahui oleh pengguna bahasa atau terma dan maknanya telah diketahui oleh pengguna bahasa, tetapi terma tersebut dipakai tidak untuk menunjukkan maknanya yang asal, atau adakalanya maknanya telah diketahui oleh para pengguna bahasa, tetapi terma yang dipakai tidak mereka kenal. Jadi, syariat sering kali memberikan arti baru/tambahan kepada suatu kata yang telah dikenal oleh bangsa Arab atau membuat suatu istilah yang baru dan sebelumnya tidak mereka kenal. Secara logis, suatu istilah hanya dapat dipahami dengan benar bila dipahami dalam makna yang biasa digunakan oleh dan dalam konteks si pengucap istilah tersebut. Sebagai contoh, misalnya kata “KKN” harus dipahami secara berbeda dalam lingkungan kampus sebagai Kuliah Kerja Nyata dan dalam istilah politik sebagai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kata “demokrat” harus dipahami berbeda dalam konteks bahasan demokrasi sebagai penganut sistem demokrasi dan dalam konteks kepartaian sebagai Partai Demokrat atau sebagai simpatisan Partai Demokrat. Demikian juga kata “Muslim” harus dipahami berbeda ketika dalam konteks bahasa sebagai orang yang pasrah dan dalam konteks identitas sebagai penganut agama Islam. Pencampuradukan makna dalam istilah-istilah tersebut tak ubahnya hanya menjadi “plesetan” yang digunakan untuk bercanda. Terkadang, sebuah istilah mempunyai makna tambahan yang melekat pada maknanya yang asal. Untuk memahaminya secara benar, makna tambahannya tidak boleh dibuang, seperti contoh-contoh berikut: • Kata “buruh” tidak hanya bermakna sebagai “pekerja”, tetapi dalam istilahnya punya makna tambahan menjadi “pekerja kasar dengan gaji rendah”. • Kata “humanisme” tidak hanya bermakna sebagai “paham yang mendukung nilai-nilai kemanusiaan”, tetapi dalam istilahnya punya arti tambahan menjadi “sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural mana pun” . Dengan kata lain, humanisme tidak hanya berisi pada cinta sesama dan kasih sayang, tetapi juga penafian terhadap Tuhan. • Kata “pluralisme” tidak hanya bermakna “paham yang mendukung adanya pluralitas atau toleran terhadap pluralitas” sebagaimana banyak disalahpahami, tetapi dalam istilahnya punya makna tambahan menjadi “paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif” atau “The view that the great world faiths embody different percentions and conseptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and that within each of them independently the transformation of human existence from self-centeredness to reality-centeredness is taking place”. Hal yang sama juga berlaku dalam istilah keagamaan, misalnya: kata “shalat” tidak semata berarti “doa”, tetapi lebih dari itu sebagai “tindakan-tindakan dan perkataan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam”, kata “haji” tidak hanya berarti “menghadap”, tetapi lebih dari itu dikenal sebagai “menghadap ke Baitullah” dan seterusnya. Buku Fiqih Lintas Agama sengaja membuang makna-makna tambahan ini sehingga artinya menjadi kacau, baik secara bahasa atau secara logika. Bila pemahaman buku Fiqih Lintas Agama dipakai, maka akan dihasilkan kesimpulan-kesimpulan yang kacau seperti berikut:  Semua agama yang mengajarkan pasrah dan tunduk kepada Tuhan adalah agama Islam.  Semua orang yang memasrahkan diri pada Tuhan adalah Muslim.  Semua kitab yang disucikan oleh segolongan orang disebut sebagai Kitab Suci.  Semua aturan yang berlaku dalam agama yang manapun disebut sebagai syari’at Hal lain yang menarik adalah ketika buku Fiqih Lintas Agama “mengolah” ayat yang menerangkan perihal wijhah [tempat orientasi] masing-masing golongan sehingga mempunyai arti yang mendukung pluralisme agama. Bahkan disebutnya sebagai titik pusat ajaran pluralitas dalam al-Qur’an dan merupakan ajaran Islam yang all-inclusive. Berikut ini adalah ayat tersebut dan artinya menurut buku Fiqih Lintas Agama: وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَات Bagi masing-masing mempunyai tujuan, kesanalah Ia mengarahkannya; maka berlomba-lombalah kamu dalam mengejar kebaikan. Dalam terjemahannya, terlihat bahwa buku Fiqih Lintas Agama merujukkan kata “Ia” (huwa) kepada Allah karena ditulis dengan huruf kapital, kemudian dalam bahasannya secara implisit dikesankan bahwa Allah merestui semua wijhah itu. Bila diteliti dengan cermat dengan memperhatikan konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kata ganti “huwa” [ia] itu seharusnya merujuk pada “kulIlu” [masing-masing] dan bukannya kepada Allah. Sehingga arti ayat itu harusnya berarti: “Bagi masing-masing mempunyai tempat orientasi, kesanalah mereka masing-masing menghadap”. Memang betul bahwa kata ganti tersebut juga dimungkinkan untuk dirujukkan pada Allah seperti yang dilakukan oleh buku Fiqih Lintas Agama, tetapi mereka yang berpendapat demikian tidak sampai pada kesimpulan bahwa Allah merestui semua wijhah itu karena wijhah umat terdahulu telah dihapus dengan wijhah baru, yaitu wijhah Nabi Ibrahim (Ka’bah) sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikutnya, yaitu al-Qur’an, 2 (al-Baqarah): 149-150 yang secara jelas memerintahkan untuk beribadah menghadap Ka’bah dan Allah menyebut wijhah baru ini sebagai la al-haqqu min rabbika [yang benar dari Tuhanmu]. Dengan demikian, diketahui bahwa buku Fiqih Lintas Agama sengaja mengambil satu ayat yang terkesan inclusive dan mengesampingkan ayat-ayat berikutnya yang berbicara dalam konteks yang sama karena menghilangkan kesan tersebut. Tentang arti Islam sendiri, hadith berikut ini telah cukup untuk meruntuhkan teologi buku Fiqih Lintas Agama: فلما كلمه الحَبْران قال لهما رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أسْلِمَا” قالا قد أسلمنا. قال: “إنَّكُمَا لَمْ تُسْلِمَا فأسْلِما” قالا بلى، قد أسلمنا قبلك. قال: “كَذَبْتُمَا، يمْنَعُكُمَا مِنَ الإسْلامِ دُعَاؤكُما لله ولدا، وَعِبَادَتُكُمَا الصَّلِيبَ وأكْلُكُمَا الخِنزيرَ”. Ketika dua Uskup (dari negeri Najran) berbicara dengannya, maka Nabi bersabda pada keduanya: “Berislamlah!”. Mereka menjawab: “Kami telah berislam”. Nabi bersabda lagi: “Sesungguhnya kalian belum berislam, maka berislamlah!”. Mereka menjawab: “Tidak demikian, kami telah berislam sebelum kamu”. Nabi bersabda: “Kalian bohong!, yang menghalangi kalian dari Islam adalah pengakuan kalian bahwa Allah mempunyai anak dan penyembahan kalian terhadap salib dan juga kalian memakan babi (menghalalkannya)”. Jelas sekali dari hadith tersebut bahwa Islam tidak hanya berisi kepasrahan kepada Tuhan. Klaim keislaman juga harus disertai dengan kepatuhan terhadap syari’at Islam, bukan hanya kepatuhan terhadap “syari’at-syari’at lain”. Bila saja tetap dipaksakan bahwa inti Islam adalah “pasrah dan patuh” sehingga semua yang “pasrah dan patuh” disebut Muslim, maka harus dijelaskan bahwa kepasrahan dan kepatuhan yang dimaksud bukan hanya kepasrahan dan kepatuhan terhadap Tuhan, tetapi juga kepasrahan dan kepatuhan terhadap Nabi Muhammad dan seluruh aturan syari’at yang dibawanya. Jelas sekali disebutkan dalam al-Qur’an bahwa ketaatan kepada Allah, tanpa disertai ketaatan terhadap Nabi Muhammad adalah percuma saja. Anehnya, syarat ketaatan terhadap rasul ini juga diakui oleh buku Fiqih Lintas Agama. Padahal, dalam berbagai tempat buku Fiqih Lintas Agama menggeneralisir arti Islam hingga mencakup non-Muslim yang pasrah. Ini adalah satu contoh lagi dari kontradiksi dan inkonsistensi buku Fiqih Lintas Agama. Dalam buku itu disebutkan demikian: Akan tetapi, karena dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka (Ahli Kitab, pen) beriman kepada Rasullah Muhammad saw., meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari kemudian—sebagaimana agama-agama mereka sendiri sudah mengajarkan—, mereka secara langsung atau pun tidak langsung termasuk yang “menentang” Nabi, atau bukan golongan Muslim. Poin yang sangat penting tetapi dilupakan oleh buku Fiqih Lintas Agama dan para pluralis lainnya adalah bahwa Nabi Muhammad sebagai pembawa Islam telah mendefinisikan arti Islam dengan sangat gamblang dalam sabdanya: الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً Islam adalah penyaksianmu bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, pengerjaanmu terhadap shalat, pembayaranmu terhadap zakat, puasamu pada bulan ramadlan dan ibadah hajimu ke bait Allah bila engkau mampu Secara logis dan ilmiah, definisi dari Sang Pembawa Islam (Nabi Muhammad) tentang Islam mestilah jauh lebih kuat dan akurat dibanding definisi ala Paramadina (baca: Nurcholish Madjid), ala Jaringan Islam Liberal, ala buku Fiqih Lintas Agama atau ala siapapun yang lain. Bahkan, harusnya seluruh definisi orang lain yang bertentangan dengan definisi Nabi harus diabaikan dan dianggap tidak valid bila memang mengaku Muslim. Sama halnya seperti definisi trinitas, definisi terkuat tentangnya yang dapat dijadikan patokan secara ilmiah adalah definisi yang diberikan oleh pengikut Kristen sendiri, bukan definisi yang dibuat oleh pengikut agama lain. 4. Ahli Kitab yang diartikan sebagai seluruh umat agama yang mempunyai kitab suci adalah pendapat lemah. Tidak dapat dipungkiri bahwa konsep Ahli Kitab merupakan satu-satunya konsep agama yang betul-betul mengakui eksistensi agama lain, bahkan mengatakan bahwa ada agama luar yang bersumber dari sumber yang sama. Tidak ada agama lain yang mempunyai konsep se-progressif ini. Keunikan ini diakui oleh Cyril Glassé, editor The Concise Encyclopedia of Islam. Dia berkata: “… the fact that one Revelation should name other as authentic is an axtraordinary event in the history of religions” [kenyataan bahwa sebuah wahyu menyebut wahyu-wahyu yang lain sebagai absah adalah kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama]. Sebagian besar ulama sepakat bahwa yang dimaksud Ahli Kitab adalah Yahudi dan Nasrani saja. Pendapat ini berdasarkan firman Allah: أَنْ تَقُولُوا إِنَّمَا أُنْزِلَ الْكِتَابُ عَلَى طَائِفَتَيْنِ مِنْ قَبْلِنَا وَإِنْ كُنَّا عَنْ دِرَاسَتِهِمْ لَغَافِلِين (Kami turunkan Al-Quran itu) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja sebelum kami (Yahudi dan Nasrani) dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca. قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيل وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُم Katakanlah: “Hai ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. Kedua ayat di atas menyebutkan hanya ada dua kitab, yaitu Taurat dan Injil yang disebut dengan al-kitāb, selain al-Qur’an dan hanya ada dua golongan yang menerimanya, yaitu Yahudi dan Nasrani. Tetapi, Imam Syafi’i berpendapat bahwa Majusi termasuk dari Ahli Kitab karena mereka sebenarnya mempunyai kitab suci, namun mereka melupakannya. Pendapat Imam Syafi’i ini didasarkan pada suatu hadith dari Ali bin Abi Thalib. Rasyid Ridha dalam tafsirnya terhadap al-Qur’an 5 (al-Māidah): 5, sebagaimana dikutip dalam buku Fiqih Lintas Agama, melangkah lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa Hindu, Budha, Sābi’īn dan Khonghucu dengan landasan hadith riwayat Ali tersebut dan pemahaman bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan golongan tersebut, melainkan hanya Yahudi dan Nasrani saja karena hanya kedua agama tersebut yang dekat dengan masyarakat Arab kala itu dan mereka pun belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga tidak perlu menyebutkan istilah yang masih asing. Pendapat Imam Syafi’i dan Rasyid Ridha tersebut lemah karena ternyata hadith riwayat Ali yang mengatakan bahwa Majusi adalah adalah Ahli Kitab adalah hadith lemah karena ada periwayat yang tidak kompeten bernama Abū Sa’īd al-Biqāl. Adapun alasan Rasyid Ridha, menurut hemat penulis juga lemah karena dalam al-Qur’an sendiri banyak disebutkan cerita-cerita tentang kaum yang asing, seperti kaum ‘Ād dan Thamūd. Seandainya al-Qur’an memang selalu menghindari penyebutan kaum asing, maka tentu cerita dan nama kaum mereka tidak disebutkan, melainkan hanya pesan moralnya saja. Adapun tentang India, Rasulullah dan orang-orang di masanya telah mengenal perihal negeri itu. Hadith berikut adalah salah satu hadith yang dapat membuktikan hal ini: عصابتان من أمتي أحرزهم الله من النار عصابة تغزو الهند وعصابة تكون مع عيسى بن مريم عليه السلام Ada dua golongan dari umatku, semoga Allah menjaga mereka dari neraka; golongan pertama adalah yang memerangi India dan golongan kedua adalah yang bersama Nabi Isa as. Hadith di atas mengindikasikan bahwa bukan hanya negeri India yang dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, tetapi juga agama yang dianut bangsa India karena Nabi Muhammad hanya diperintahkan memerangi keyakinan-keyakinan yang keliru saja. Jadi, jika alasan Rasyid Ridha memang benar, maka seharusnya Nabi menyebut umat Hindu India sebagai Ahli Kitab. Kenyataannya, umat Islam pada waktu hanya mengenal dua Ahli Kitab saja seperti disebutkan dalam al-Qur’an. Mungkin karena alasan-alasan inilah pendapat Imam Syafi’i dan lebih-lebih Rasyid Ridha tidak populer di kalangan ulama. Perlu diketahui, buku Fiqih Lintas Agama bahkan melangkah lebih jauh lagi dari Rasyid Ridha meskipun pada awalnya juga menukil pendapat Rasyid Ridha sebagai penguat. Buku Fiqih Lintas Agama tidak hanya mengusulkan golongan-golongan yang disebutkan oleh Ridha dalam tafsirnya sebagai Ahli Kitab, tapi seluruh agama yang mempunyai kitab suci. Tentu saja tidak ada landasan valid yang diajukan kecuali ide-ide persamaan agama yang keseluruhannya telah dianalisis dalam tulisan ini. Selain itu, gagasan seperti ini “terlalu liar” hingga jika memang dilakukan dengan konsisten, maka Ahmadiyah, Baha’iyah dan bahkan aliran-aliran lokal seperti Darmogandul, Gatoloco dan lain-lain harus diakui sebagai Ahli Kitab karena mereka mempunyai kitab yang menurut mereka suci. Bila memang ini terjadi, maka harus ada redefinisi terhadap apa yang disebut sebagai kitab suci dan bahkan apa yang disebut sebagai agama. Bagi seorang Muslim, seharusnya ayat berikut sudah cukup untuk dijadikan pedoman bahwa gagasan-gagasan buku Fiqih Lintas Agama dan juga orang-orang yang sependapat dengannya adalah mutlak salah. Allah berfirman: قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. 5. Millah Ibrahim hanya satu. Sudah jelas bahwa dalam beberapa ayat, al-Qur’an memerintahkan orang Islam untuk mengikuti millah Ibrahim atau ajaran/agama Ibrahim. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa menurut al-Qur’an, millah Ibrahim tersebut hanya ada satu, yaitu agama Islam. Bahkan Nabi Ibrahim adalah orang pertama kali memperkenalkan istilah “Muslim” untuk orang beriman. Dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa yang mengikuti jejak agama beliau bukanlah Yahudi atau Nasrani, melainkan Nabi Muhammad dan umatnya. Allah berfirman: مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ . إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِين. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan dia tidak termasuk golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya orang yang paling utama kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman. Buku Fiqih Lintas Agama hanya mengutip ayat pertama dari dua ayat di atas dan mentakwil “bukan Yahudi dan bukan Nasrani” dengan arti “bukan orang yang bersikap sektarian dan komunalistik” dan meredefinisi kata “Muslim” hingga hanya berarti “orang yang pasrah”. Ayat selanjutnya di atas sama sekali tidak disinggung dan sengaja diabaikan. Alasannya, tentu saja karena lanjutan ayat Āli ‘Imran:67 tersebut tidak sesuai dengan ide buku Fiqih Lintas Agama, bahkan jelas-jelas dapat menafikan kebenaran dari takwilnya. Adapun yang dimaksud dengan lalladhīna ittaba’ahu [orang-orang yang mengikuti Ibrahim] dalam ayat tersebut pastilah kaum Nabi Ibrahim yang mengikuti ajarannya secara benar. Kaum Yahudi dan Nasrani dalam perspektif al-Qur’an tidak termasuk orang yang mengikuti Ibrahim karena mereka melakukan syirik, memalsukan kitab suci, membunuh para Nabi dan lain-lain yang bertentangan dengan millah Ibrahim. Azyumardi Azra dalam makalahnya yang disampaikan dalam Conference ‘Children of Abraham: Trialogue of Civilizations’ [Konferensi anak Ibrahim: Trialog Peradaban] di Universitas Harvard pada tanggal 22-23 Oktober 2007 dengan judul “Trialogue Of Abrahamic Faiths;Towards the Alliance of Civilizations” mengatakan sebagai berikut: Seen from an Islamic perspective, the three religions—Judaism. Christianity and Islam—have their shared origin in the personage of Abraham (Arabic, Abraham). That is why the three are called in the Qur’an millah Ibrahim, Abrahamic ‘way of life’, or rather, religions. The three religions have a great deal of similarities and affinities as well as shared histories in the land now known as the Middle East. But at the same time the three religions are siblings that each of them is unique in itself. Therefore, they are different in their own way that in the end brought them into misunderstanding and conflict. Dari perspektif sosial murni, bisa saja Yahudi dan Nasrani juga disebut sebagai pengikut millah Ibrahim karena memang ketiga “agama langit” mengklaim sebagai pengikutnya hingga oleh sebagian orang disebut dengan istilah Abrahamic Faith seperti yang dilakukan oleh buku Fiqih Lintas Agama dan Azyumardi Azra. Namun, seorang Muslim tidak seharusnya meyakini bahwa Abrahamic Faith adalah Islam, Yahudi dan Nasrani sekaligus karena keyakini seperti ini jelas bertentangan dengan al-Qur’an. Pernyataan Azyumardi Azra “That is why the three are called in the Qur’an millah Ibrahim, Abrahamic ‘way of life’, or rather, religions” [itulah sebabnya ketiga agama tersebut disebut dalam al-Qur’an sebagai millah Ibrahim, jalan hidup Ibrahimy atau agama-agama Ibrahimy] sama sekali tidak dapat dibuktikan hingga wajar sekali bila dalam makalahnya, Azra tidak menyebutkan bagian mana dari al-Qur’an yang menyebut demikian. Al-Shahrastānī memberikan catatan menarik tentang sifat hanīfiyah [lurus/condong pada kebenaran] yang dalam al-Qur’an dilekatkan pada sosok Ibrahim. Dia berkata demikian: ومن العجب أن التوحيد من أخص أركان الحنيفية ولهذا يقترن نفي الشرك بكل موضع ذكر الحنيفية: (حنيفا وما كان من المشركين) (حنفاء لله غير مشركين به) Yang mengagumkan adalah kenyataan bahwa tauhid adalah bagian terpenting dari kehanifan. Karena inilah, kehanifan selalu bebarengan dengan penegasian terhadap syirik dalam setiap tempat di mana kehanifan disebutkan (dalam al-Qur’an): “Dia bersikap hanīf dan bukanlah seorang musyrik”, “mereka bersikap hanīf karena Allah dan tidak menyekutukan-Nya”. Dengan pemahaman yang komprehensif seperti ini, tertolaklah seluruh konsep penyamaan atau penyetaraan antara Islam, Yahudi dan Nasrani yang dikenal dengan sebutan Agama Ibrahim, Abrahamic Faith, Millah Ibrāhim, Ajaran Kehanifan atau nama-nama lain yang senada. Konsep seperti itu hanya akan mengaburkan misi tauhid Nabi Ibrahim. Cukuplah mereka dihargai sebagai Ahli Kitab atau pengikut agama langit dalam pengertian yang umum di kalangan Muslim. 6. Beberapa kesamaan saja tidak menjadikan agama-agama menjadi sama bila jumlah perbedaan yang bersifat prinsip justru lebih besar. Orang yang menganggap semua agama menjadi sama telah melakukan simplifikasi massif terhadap ajaran masing-masing agama. Bila dilihat sepintas, memang seluruh agama yang ada mempunyai kesamaan, sama-sama menuju Tuhan, sama-sama mempunyai bentuk ritual dan sama-sama mengajarkan kebaikan. Seluruh agama setuju bahwa hidup berfoya-foya, mabuk-mabukan, mencuri, merampok dan lain-lain adalah hal yang buruk sedangkan sedekah dan saling tolong menolong sesama manusia adalah hal baik. Ajaran yang demikian bahkan juga dimengerti oleh yang tidak beragama sekalipun karena sudah termasuk fitrah yang ditanamkan Allah kepada setiap manusia. Tetapi, bila dengan dasar tersebut lalu dibuat kesimpulan gegabah bahwa semua agama adalah sama, bagaikan berbagai jalan yang berbeda tetapi menuju muara yang sama, maka kesimpulan ini sangat keliru. Dalam wacana lintas agama, ungkapan-ungkapan seperti berikut sangat familiar: “other religions are equally valid ways to the same truth” (John Hick); “other religions speak of different but equally valid truths” (John B. Cobb Jr); “Each religion expresses an important part of the truth” (Raimundo Panikkar); “Setiap agama mengekspresikan adanya The One in the many” (Seyyed Hossein Nasr). Ungkapan-ungkapan seperti itu dan yang senada biasanya didasarkan pada dua alasan; Pertama, Konsili Vatikan II tahun 1963-1965 yang kesimpulannya adalah merevisi prinsip eksklusif extra ecclesiam nulla salus [di luar gereja tidak ada keselamatan] menjadi inklusif sehingga menurut gereja (Kristen), keselamatan tidak hanya dimonopoli kaum Kristiani, tapi juga dimiliki oleh seluruh umat beragama lain yang mengakui Tuhan yang Maha Pencipta, terutama kaun Muslim yang memegang teguh agama Ibrahim (but the plan of salvation also includes those who acknowlegde The Creator. In the fist place among these there are the Moslems, who professing to hold the faith of Abraham, along with us adore The One and merciful God, who on the last day will jugde mankind). Kedua, al-Qur’an surat al-Baqarah: 62 yang artinya “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Kedua alasan itu sangat tidak tepat karena Konsili Vatikan II pada hakikatnya tidak pernah diterapkan serius oleh gereja. Pasca Konsili tersebut, gereja tetap mengirimkan misionaris-misionarisnya ke seluruh dunia untuk kepentingan pengkristenan secara menggebu-gebu. Bila saja memang gereja mengakui ada keselamatan dalam agama lain, tentunya gereja akan membiarkan agama lain eksis dengan apa adanya. Adian Husaini dan Nuim Hidayat mensinyalir fenomena ini sebagai jebakan misionaris kristen yang tujuannya memperlemah pertahanan agama lain, terutama islam sehingga lebih mudah menerima Kristen. Frans Magnis Suseno, pemikir Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menjelaskan bahwa pada tahun 2001, Vatikan menerbitkan penjelasan “Dominus Jesus” yang isinya menolak paham pluralisme agama dan menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya pengantar keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. Ini memperjelas bahwa sebenarnya hasil Konsili Vatikan II tidak diberlakukan oleh Vatikan sendiri. Sungguh aneh bila beberapa Muslim masih menggunakan hasil Konsili ini. Adapun ayat al-Baqarah:62 tersebut tidak dapat dibaca secara literal dan parsial. Pembacaan model ini adalah pembacaan yang khas pluralis. Seandainya al-Qur’an boleh dipahami sebagian saja dan mengabaikan yang lain, atau seandainya ayat tersebut satu-satunya dalil dalam Islam yang berbicara mengenai agama lain, maka bukan saja Islam bersikap toleran terhadap pemeluk agama lain, tetapi bahkan Islam menjadi agama pertama yang mengusung pluralisme agama. Tetapi, kedua hal tersebut hanya khayalan belaka karena al-Qur’an sendiri di berbagai tempat lain jelas-jelas menggolongkan pemeluk agama lain sebagai kafir yang akan masuk neraka. Bila dibaca sepintas, memang ayat tersebut terkesan pluralis, tetapi bila diperhatikan dengan seksama, maka kesan tersebut akan hilang. Ayat tersebut menegaskan tiga syarat agar golongan yang disebut sebelumnya bisa masuk surga; Pertama, āmana bi Allah [beriman kepada Allah]. Telah disebut sebelumnya bahwa dalam al-Qur’an, beriman kepada Allah harus pula disertai dengan iman kepada Rasul Muhammad. Bila tidak demikian, maka imannya percuma saja. Kedua, āmana bi al-yaum akhīr [beriman kepada adanya hari akhir] yang berarti secara nalar juga mengharuskan beriman kepada kejadian-kejadian di hari akhir, termasuk surga yang dijanjikan kepada Muslimin dan neraka kepada kafirin. Ketiga, ‘amila sāliha [beramal saleh] dengan melakukan berbagai kebaikan, baik kebaikan yang bersifat vertikal (beribadah sesuai syariat Islam) ataupun kebaikan yang bersifat horizontal (kebaikan dalam ranah sosial kemasyarakatan). Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa amal-amal kaum kafir, seperti meyakini trinitas, melakukan pemalsuan kitab suci, membunuh para Nabi, melanggar perjanjian dan lain-lain merupakan amal saleh yang bisa mengantar mereka ke surga. Dengan demikian, diketahui bahwa al-Qur’an maupun hadith sebenarnya hanya mengakui Islam sebagai agama yang benar. Inna al-dīna ‘inda Allah islām [sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanya Islam]. Huwa al-ladhī arsala rasūlahu bi al-hudā wa dīn al-haqq liyuzhirahu ‘alā al-dīni kullih [Dialah yang mengutus Rasul-nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar (Islam) untuk dimenangkanNya atas segala agama (yang lain)]. Muslim yang berpendapat bahwa semua agama adalah sama saja dan semuanya berpeluang masuk surga tidak mempunyai dasar yang kuat sama sekali; yang ada hanyalah dalil-dalil yang diambil sepotong-sepotong dan didekonstruksi hingga cocok dengan ide subjektif mereka. C. Analisis terhadap fiqih terapan buku Fiqih Lintas Agama Dalam seluruh poin bahasannya, buku Fiqih Lintas Agama selalu menghasilkan kesimpulan halal, boleh atau keputusan yang cenderung memihak pada non-Muslim. Kesan pertama dari membaca buku ini adalah adanya upaya pembelaan terhadap non-Muslim yang dianggap selama ini tidak mendapat perlakukan selayaknya dalam wacana fiqih. Sebagai “buku fiqih”, buku Fiqih Lintas Agama memakai metode fiqih dalam mengambil kesimpulan, tetapi metode yang dipakai tidak sama dengan metode yang dipakai ulama fiqih kebanyakan kecuali dalam beberapa hal saja. Berikut ini adalah metode yang dipakai untuk menghasilkan suatu hukum fiqih terapan. 1. Bila dalil yang dianggap berpihak pada non-Muslim lebih kuat, maka dalil tersebut disajikan apa adanya tanpa kritik. Dalil itu kemudian diperkuat dengan menukil pendapat ulama terdahulu yang mendukungnya serta ditambah dengan beberapa komentar. 2. Bila dalil yang melarang suatu tindakan atau yang dianggap tidak berpihak pada umat non-Muslim ternyata lebih kuat, maka berbagai cara dilakukan untuk melemahkan dalil tersebut. Cara-cara pelemahan itu antara lain: a. Dengan memakai kaidah-kaidah usūl fiqh yang bersifat umum. b. Dengan mengkhususkan dalil tersebut pada suatu kejadian/konteks tertentu saja seperti yang menjadi asbāb al-nuzūl/wurūd-nya berdasarkan pemikiran bahwa sekarang dalil itu sudah tidak layak untuk dipakai lagi sesuai kondisi jaman. c. Dengan mengkritik sanad hadith secara berlebihan dan kadang cenderung mengada-ada. d. Dengan memakai argumen-argumen tentang kesetaraan, kesamaan, hak asasi manusia dan sebagainya serta dukungan terhadap pluralisme agama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah analisis terhadap salah satu bahasan fiqih terapan yang digagas oleh buku Fiqih Lintas Agama satu persatu. Kawin beda agama Sebelum menganalisis lebih jauh tentang kawin beda agama, perlu ditegaskan bahwa secara umum terma “kawin beda agama” yang dimaksud dalam buku Fiqih Lintas Agama adalah pernikahan antara Muslim dengan Ahli Kitab. Cakupan Ahli Kitab pada pembahasan ini kembali dipersempit yaitu kepada Yahudi dan Nasrani saja, bukan pada seluruh agama yang memiliki kitab suci sebagaimana pada pembahasan sebelumnya. Langkah ini cukup mengherankan karena Zainun Kamal, selaku penulis segmen nikah beda agama, berpendapat bahwa Ahli Kitab tidak terbatas pada Yahudi dan Nasrani saja. Tentu saja ini merupakan salah satu dari sekian banyak inkonsistensi buku Fiqih Lintas Agama yang alasannya tentu saja karena tema bahasan ini ditulis oleh penulis yang berbeda dengan penulis gagasan tentang Ahli Kitab. Konsekuensinya, wanita-wanita selain Yahudi dan Nasrani mendapat hukum yang berbeda dari wanita-wanita Yahudi dan Nasrani, meskipun dalam bagian lain buku tersebut mereka juga disebut sebagai Ahli Kitab. Bila saja buku Fiqih Lintas Agama disusun sebagai kumpulan artikel dari beberapa orang yang berbeda, maka kontradiksi seperti ini bisa dimaklumi. Tetapi, karena disusun sebagai sebuah karya tim yang menurut editornya merupakan rangkuman pemikiran utuh, maka hal seperti ini menjadi kesalahan yang amat fatal. Akan tetapi, mungkin saja tidak disebutnya agama lain dalam bahasan ini karena cakupan Ahli Kitab yang lebih luas telah diterangkan sebelumnya sehingga tidak ada pertentangan. Tentang kawin beda agama, buku Fiqih Lintas Agama melakukan pembahasan yang berat sebelah. Pembahasan awal adalah tentang dibolehkannya pernikahan antara seorang laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab. Pada pembahasan ini disebutkan panjang lebar tentang perbedaan antara kafir Musyrik dan kafir Ahli Kitab. Berbagai ayat, tafsiran dan komentar ulama serta kesimpulan disajikan lengkap sebanyak lebih dari sembilan halaman untuk membuktikan bahwa yang haram dinikahi bagi laki-laki Muslim adalah wanita musyrik, bukan wanita Ahli Kitab. Kesimpulan seperti ini adalah kesimpulan mayoritas ulama. Berbagai buku fiqih mulai yang klasik hingga yang baru serta banyak artikel lepas telah menyebutkan hal ini secara lengkap. Dengan demikian, kesimpulan hukumnya bukanlah hal yang baru atau kontroversial hingga menurut hemat penulis tidak perlu diulas lagi pada tulisan ini. Penulis sependapat dengan kesimpulan buku Fiqih Lintas Agama dalam hal ini. Akan tetapi, ketika membahas tentang soal yang begitu penting dan dilematis dalam topik ini, yaitu tentang hukum wanita Muslimah yang dinikahi oleh laki-laki Ahli Kitab atau non-Muslim selain Ahli Kitab secara umum, buku Fiqih Lintas Agama hanya membahasnya dengan menampilkan satu hadith lemah dan satu kutipan dari Umar bin Khattab yang melarang praktek sedemikian. Uraiannya hanya dua halaman saja tetapi menghasilkan kesimpulan yang begitu kontroversial, yaitu dihalalkannya wanita Muslimah untuk dinikahi oleh laki-laki non-Muslim manapun, baik Ahli Kitab ataupun bukan. Bila saja kedua pembahasan disajikan dengan seimbang, menurut hemat penulis tentulah penghalalan seperti itu tidak akan terjadi. Sulit diterima akal bila seorang penulis yang mampu menyajikan data lengkap tentang dihalalkannya wanita Ahli Kitab untuk dinikahi pria Muslim dengan disertai nukilan pendapat ulama ternyata tidak mampu menyajikan data lengkap kenapa para ulama mengharamkan kebalikannya, yaitu wanita Muslim dinikahi pria non-Muslim. Bila yang dijadikan landasan adalah semata hadith lemah yang disebutkan oleh al-Tabāry atau semata pendapat Umar bin Khattab, tentu saja landasannya lemah dan tidak dapat dipakai, tapi kenyataannya tidak demikian. Ada landasan lain yang sangat penting yang dipakai oleh para ulama, yaitu al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10 yang telah disebutkan oleh buku Fiqih Lintas Agama tetapi dipahami secara berbeda. Memang ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang cakupan kata musyrik dalam ayat tersebut; sebagian mengartikan bahwa Musyrik yang dimaksud adalah kaum musyrik selain Ahli Kitab atau musyrik penyembah berhala saja, sedangkan ayat al-Mā’idah: 5 berfungsi sebagai penegasan penghalalan Ahli Kitab. Pendapat inilah yang dipegang oleh buku Fiqih Lintas Agama. Menurut kebanyakan ulama lainnya, Musyrik yang dimaksud adalah kaum musyrik secara umum, termasuk Ahli Kitab, sedangkan ayat al-Mā’idah: 5 berfungsi sebagai pengecualian (takhsīs). Pendapat ini adalah pendapat yang paling populer. Bila mengacu pada pendapat kedua di atas, sebagaimana yang lebih diyakini penulis, maka masalah sudah terselesaikan. Pengharaman menikahkan muslimah dengan laki-laki non-muslim, baik Ahli Kitab atau bukan, telah jelas diharamkan sesuai petunjuk zāhir teks al-Qur’an. Namun, bila mengacu pada pendapat yang mengatakan bahwa musyrik yang dimaksud adalah para penyembah berhala saja, maka berarti hukum menikahi Ahli Kitab sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Mā’idah: 5 yang kemudian oleh buku Fiqih Lintas Agama disimpulkan bahwa tentang masalah Muslimah dinikahi pria Ahli Kitab, tidak ada ayat yang menyebutkannya dengan tegas. Kesimpulan ini salah karena al-Mā’idah: 5 bukanlah satu-satunya ayat yang dipakai para ulama untuk mengharamkan pernikahan antara Muslimah dan pria Ahli Kitab. Ayat lain yang dipakai itu adalah al-Mumtahanah: 10. Ayat tersebut sebenarnya telah disebutkan dalam buku Fiqih Lintas Agama, tetapi tidak diulas dengan sepantasnya seperti ketika membahas al-Mā’idah: 5. Ayat al-Mumtahanah: 10 sama sekali tidak memakai redaksi “mushrik” sehingga pembahasan panjang lebar tentang perbedaan antara musyrik dan Ahli Kitab tidak terpakai lagi. Redaksi yang dipakai pada ayat ini adalah “al-kāfir” yang berarti umum pada semua orang kafir, meliputi Ahli Kitab atau bukan. Tetapi anehnya, bukannya membahas maksud ayat itu secara benar, buku Fiqih Lintas Agama justru menerangkan bermacam-macam arti kata kāfir dalam al-Qur’an, yang meliputi: kafir ingkar, kafir juhud, kafir munafik, kafir syirik, kafir nikmat, kafir murtad dan kafir Ahli Kitab. Lebih aneh lagi, buku Fiqih Lintas Agama sama sekali tidak menerangkan kafir yang mana yang dimaksud al-Qur’an ayat al-Mumtahanah: 10 itu sehingga perlu diuraikan panjang lebar bermacam-macam arti kata kāfir. Penulisnya hanya mengatakan bahwa dalam al-Qur’an “jika hanya disebutkan kata kafir saja, maka maknanya perlu dipahami bahwa kata itu mesti merujuk kepada salah satu dari jenis-jenis kekafiran yang ada”. Bila buku Fiqih Lintas Agama memang akan menyanggah pendapat ulama, seharusnya ditegaskan saja bahwa arti kafir dalam ayat itu adalah kafir nikmat, bukan kafir yang lain karena jenis kekafiran yang lain tidak membuat perbedaan berarti melainkan tetap disebut sebagai kāfir. Pertanyaannya, kenapa buku Fiqih Lintas Agama tidak berani tegas? Jawabannya pasti karena dengan analisis bagaimanapun melalui kesesuaian teks dan konteksnya, kafir yang dimaksud dalam ayat itu tidak mungkin diartikan sebagai kafir nikmat atau orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah. Jadi, hukum haramnya pernikahan antara Muslimah dan pria kafir, baik Ahli Kitab atau bukan, dijelaskan secara gamblang dalam ayat itu tanpa ada kemungkinan untuk dicari kemungkinan tafsiran yang lain. Sayyid Sābiq menyebutkan bahwa keharaman ini adalah kesepakatan (ijmā’) seluruh ulama. Meskipun benar bahwa hadith yang menyebutkan secara jelas tentang pernikahan muslimah dan non-muslim adalah hadith lemah, tetapi para ulama sepakat untuk tetap memakainya karena isinya sesuai dengan kesepakatan ulama. Menurut Jalaluddin Rakhmat, hanya Paramadina yang membolehkan semua perkawinan antar agama. Karenanya, pernikahan campuran semacam ini tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam sejak masa lalu hingga sekarang kecuali mungkin oleh satu orang saja, yaitu Zainun Kamal, penulis buku Fiqih Lintas Agama segmen nikah beda agama. Dia pernah menjadi penghulu yang mengesahkan akad nikah antara pasangan pengantin Deddy Corbuzier (Katolik), pesulap terkenal di Indonesia, dan Kalina Oktaranny (Islam) pada tanggal 24 Februari 2005 dengan mas kawin seperangkat alat shalat. Seandainya saja memang benar bahwa tidak ada ayat yang menyebutkan larangan tegas tentang pernikahan Muslimah dan pria non-muslim seperti yang diklaim buku Fiqih Lintas Agama, maka dari sudut pandang fiqih alasan seperti ini sangat lemah karena ada kaidah yang menyebutkan: الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيمُ [hukum asal dalam masalah hubungan kelamin/pernikahan adalah haram]. Justru ketiadaan dalil yang memperbolehkan menikahkan Muslimah dengan Ahli Kitab atau non-muslim secara umum berarti menunjukkan keharamannya, bukan kehalalannya. Sebagai perbandingan, al-Qur’an tidak menyebutkan hukum menikah dengan hewan, apakah berarti hewan menjadi halal dinikahi? Tentu saja tidak. Dari sudut pandang sosial, pengharaman ini sangat masuk akal. Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki Muslim di mana suami Muslim itu harus melindungi hak-hak dan kehormatan isterinya menurut syariatnya, Islam. Tetapi agama lain, termasuk Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap isterinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak isterinya yang berbeda agama itu. Hal seperti ini tidak diatur dalam kitab suci mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin Islam menghancurkan masa depan Muslimah dengan memasrahkannya ke bawah kekuasaan mereka karena suami mendapat kekuasaan lebih terhadap anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya. Prinsipnya, suami berkewajiban menghormati aqidah isterinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Seorang mukmin juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samāwī—terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut—dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah. Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, bahkan keduanya tergolong ulūl azmi (yang berkedudukan tinggi). Karena itu, seorang perempuan ahli kitab akan berada di bawah kekuasaan suami Muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya. Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang Muslim itu melainkan dengan bersikap demikian. Tetapi sebaliknya, laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Karenanya, bagaimana mungkin seorang Muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki beragama lain, di mana agama si isteri Muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syi’ar-syi’ar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram? Bukankah suatu hal yang mustahil bila seorang Muslimah akan mendapat penghormatan yang sempurna terhadap akidahnya dan agamanya agar tetap dilindungi, sedang suaminya itu sangat benci terhadap akidah si isteri? Pernah suatu ketika ‘Ali al-Sābūnī, seorang dosen Fakultas Syari’ah di Makkah dan pengarang terkemuka, mendapat pertanyaan dari seorang non-Muslim Kristiani yang tujuannya untuk menampakkan kefanatikan orang Islam. Non-Muslim itu bertanya: “kenapa seorang Muslim diperbolehkan menikahi wanita Nasrani, sedangkan laki-laki Nasrani dilarang menikahi wanita Muslimah?”. ‘Ali al-Sābūnī menjawab demikian: “kami kaum muslimin beriman terhadap Nabi kalian (Isa as.) dan terhadap kitab suci kalian (Injil). Kalau kalian juga beriman terhadap Nabi dan kitab kami, maka kami akan menikahkan putri-putri kami dengan kalian. Maka siapakah yang fanatik?”. Dialog di atas layak direnungkan oleh orang-orang yang mencoba menghalalkan pernikahan beda agama secara mutlak atas nama toleransi. Andai kata ada suami non-Muslim yang toleran terhadap istrinya yang Muslimah, maka tetap saja toleransinya tidak akan tanpa batasan yang menggangu keberagamaan si istri. Mungkin saja para pendukung kawin beda agama seperti ini akan membantah dengan menunjukkan contoh perkawinan harmonis antara artis Nurul Arifin (Islam) dan Mayong (Kristen) atau kasus lainnya di mana keduanya tetap bertahan pada agama masing-masing tanpa konflik. Namun, itu semua hanyalah fakta kasuistik saja, bukan sebuah jaminan. Kasus lain di Indonesia justru bertolak belakang dengan kasus Nurul Arifin dan Mayong tersebut. Setiawan Budi Utomo dalam jawabannya tentang kawin beda agama mengungkapkan fakta-fakta yang menyebutkan berbagai kasus proyek kristenisasi di Indonesia dengan cara perkawinan beda agama. Yang banyak menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut adalah muslimah yang menikahi non-muslim.

Kategori:Tak Berkategori
  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar